Sabtu, 24 Januari 2009

Dilema Tugas Polisi
(antara dibenci dan dirindu)

Oleh;

BRIPKA Yudikrismen, SH., MH

Abstraksi

Sesuai dengan yang diamanatkan didalam kuhap tentang hukum acara formil adalah proses beracara hukum pidana, dimana sudah diatur tentang kewenangan aparat penegak hukum dari penyidik, penuntut umum sampai dengan Hakim, begitu juga dengan hak-hak seorang tersangka dalam penyidikan ataupun terdakwa di depan sidang pengadilan. Namun demikian untuk mencapai sebuah rasa keadilan didalam proses peradilan dimulai dari penyelidikan hingga penyidikan perkara, hingga menentukan siapa pelaku tindak pidana adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya penyidik, untuk itu penyidik diharuskan profesional dan proporsional dalam melaksanakan tugasnya supaya tidak terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi tersangka sebagai subjek hukum yang diakui undang-undang, dalam proses penyidikan, penyidik perlu membekali diri dengan teknik serta taktik penyidikan kriminil hingga tidak kesulitan untuk mengungkap perkara, hingga menentukan siapa tersangka.

Key work : Ilmu Kriminalistik, hukum pidana formil dan Etika Kepolisian.


Pendahuluan
Sebuah ungkapan mengatakan bahwa ”polisi dibenci dan sekaligus di rindu” inilah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, dan penulis juga beranggapan ini tepat sekali, karena hampir semua anggota elemen masyarakat akan sinis bila topik pembicaraan menyangkut tentang polisi, begitupun juga dengan pakar-pakar yang berbicara diberbagai pertemuan ilmiah ataupun dimedia massa. Akan tetapi bila sebaliknya terjadi, masyarakat sebagai korban sebuah kejahatan yang tidak mempunyai pilihan lain, selain melapor kepada polisi, seperti contoh terjadinya perkelahian ataupun lebih besarnya sebuah keributan yang berimplikasi kepada pembunuhan, bisa dipastikan ada saja masyarakat yang berteriak dengan lantangnya ditengah-tengah kerumunan masyarakat mengatakan ”panggil polisi”
Sebenarnya tugas polisi begitu komplit dan tidak bisa dipersamakan dengan tugas-tugas pegawai negeri sipil yang juga duduk dan bekerja di lembaga Birokrat atau eksekutif lainnya. Tugas polisi adalah 1 x 24 jam, seketika masyarakat sedang tidur nyenyak, polisi harus berpatroli mengitari kota, wilayah pemukiman penduduk yang rawan, rumah pejabat negara, instansi-instansi pemerintah, tempat-tempat yang vital, serta dimana kumpulan preman yang juga sering meresahkan masyarakat akan segera dibubarkan dengan segala resiko yang harus dihadapi polisi.
Hal sekecil apapun yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat, bisa dikategorikan menjadi tugasnya polisi, contohnya sepasang suami istri saja yang ribut didalam rumah tangganya, dan permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan baik akhirnya diselesaikan juga oleh polisi, jadi tidak ada batasan yang jelas tentang tugasnya polisi.
Didalam melaksanakan tugasnya polisi juga harus siap meninggalkan anak istrinya dirumah, dan seketika masyarakat bergembira ria merayakan pesta, lebaran ataupun tahun baru, dengan segala resiko pekerjaannya polisi harus berada untuk menjaga keamanan dan ketertiban supaya lancarnya pelaksanaan acara. Jika cuaca hujan lebat seorang polisi harus berbasah kuyup mengatur lalulintas dijalanan yang sedang macet, dan polisi mendapatkan telpon dari masyarakat tentang adanya ancaman bom di mall, super market serta gereja dll, polisi harus selalu siap dan dalam waktu yang sesegera mungkin harus berlarian mendatangi tempat kejadian perkara yang mungkin membahayakan diri polisi itu sendiri, tetapi demi tugas serta tanggung jawab dan komitmen menjadi seorang polisi.
Dengan demikian, hal yang menarik untuk mengkaji apakah tugas pokok serta tanggung jawab polisi terhadap bangsa dan negara ini? Serta bagaimanakah sistem kerja polisi dilapangan dalam aplikasi pelaksanaan tugas polisi yang ideal sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini?

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi landasan yuridis formil polisi dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawab sebagai aparatur negara ditengah-tengah masyarakat?
2. Sejauhmanakah peranan ilmu kriminalistik dalam upaya penegakan hukum dapat membantu pelaksanaan tugas polisi?

Landasan teoritis
Secara umum mungkin masyarakat awam menilai bahwa tugas polisi adalah menangkap orang jahat atau pelaku kriminil, dan juga secara nyata dilihat langsung oleh masyarakat tuga polisi adalah mengatur lalulintas dijalan raya supaya tidak terjadi kemacetan disamping itu juga mengamankan bank-bank dari upaya perampokan yang akan terjadi serta masih banyak yang lainnya, dan kalau terjadinya keributan dalam bentuk sekecil apapun ditengah-tengah masyarakat dan pertengkaran kecil tersebut tidak bisa diselesaikan secara damai atau musyarawah dan mufakat ditingkat RT (rukun tangga) maupun tingkat RW (rukun warga) sebagai aparat birokrat level terbawah yang secara langsung mewadahi aspirasi masayarakat, maka penyelesaiannya selalu akan bermuara kepada polisi.
Sebenarnya tidak sampai disitu saja tugasnya polisi, secara legitimasi hukum, tugas pokok polisi dijelaskan didalam rumusan pasal 5 UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia , yaitu; menjaga keamanan dan ketertiban umum, Aparat penegak hukum serta sebagai pelindung, penganyom, dan pembimbing masyarakat. Dalam hal penegakan hukum posisi penyidik polisi diatur dalam Kuhap , sebelum diundangkan Kuhap tanggal 31 desember 1981 sebagai undang-undang, secara hukum formil polisi masih menggunakan H.I.R (Herziene Inglander Reglement) yaitu aturan acara hukum formil peninggalan penjajah Belanda, dimana lebih mengarah kepada pencarian untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari seorang tersangka, maka sudah cukup untuk pembuktian sebuah perkara di Pengadilan bagi Hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang diduga melakukan sebuah kejahatan.
Sebelum UU RI No. 8 tahun 1981 tentang Kuhap disahkan sebagai undang-undang, H.I.R (Herziene Inglander Reglement) masih dipergunakan dalam acara hukum formil kita, hal ini dilakukan hanyalah supaya jangan terjadinya kekosongan hukum dalam hal acara formil hukum pidana, sebenarnya substansi dari H.I.R (Herziene Inglander Reglement) hanya untuk mencari sebuah pengakuan tersangka saja dalam pembuktian perkara pidana, celah hukum seperti ini dimanfaatkan oleh penyidik sebatas hanya mencari sebuah pengakuan dari seorang yang diduga sebagai pelaku kriminil dengan menghalalkan segala cara dan tanpa usaha serta kerja yang berat, bisa jadi dengan melakukan penganiayaan untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari tersangka.
Sebenarnya Undang-undang adalah merupakan suatu implementasi dari sebuah kontrak sosial, pembentukan undang-undang ”memelopori” perubahan-perubahan dalam masyarakat dan polisi hanyalah aparat negara penegak hukum yang bertugas menjalankan sebuah undang-undang sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah, dan keberadaan polisi tidak terlepas dari pada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang itu sendiri, maka suatu kesalahan yang terjadi, yang dilakukan oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya adalah penjelmaan sisi lemah hukum dalam undang-undang itu sendiri .
Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 setelah di amandemen menegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara hukum. Dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah Negara hukum, yang mana didalam konstitusi Indonesia telah menempatkan hukum dalam posisi yang suprime dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, berarti bahwa dalam praktek ketatanegaraan Indonesia seluruh aspek kehidupan diselenggarakan berdasarkan hukum, dan hukum menjadi suatu titik sentral semua aktifitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Polisi sebagai bagian dari struktur hukum dalam proses penyelenggara negara, polisi terikat pada aturan-aturan hukum dan prosedur-prosedur tertentu serta dikontrol dan bertanggung jawab kepada hukum.
Polisi selaku struktur hukum dalam proses penyelenggara negara didalam penegakan hukum mengacu kepada UU RI No. 8 tahun 1981 tentang Kuhap. Dan Kuhap itu sendiri dirancang dan diundangkan adalah diambil dari nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila yang tertuang didalam UUD 1945 yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai demokrasi dan nilai sosial masyarakat. Karena pancasila adalah menjadi sumber dari segala sumber hukum. Selaras dengan itu seorang guru besar fakultas Hukum UIR (universitas islam riau) yaitu Prof. Kosnoe mengatakan bahwa; Pancasila tersebut adalah sebagai ”rechtsidee” merupakan benih-benih konsep ideologi yang dijiwai oleh pirit pemerdekaan” dari segala bentuk penjajahan atas bangsa. Jika ditarik ke dalam konsep kekuasaan judicial yang dijalankan oleh badan peradilan, maka peradilan merupakan proses pengejewantahan dan aktualisasi dari spirit melawan penjajah .
Untuk dapat menjerat pelaku kriminil secara hukum materiil, maka penyidik mengacu kepada alat bukti dalam kuhap sebagaimana diatur dalam pasal 184 Kuhap menyatakan bahwa yang dikatakan dengan alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan Ahli, bukti surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selanjutnya untuk bisa menjadikan seseorang menjadi tersangka didalam proses penyidikan perkara, maka penyidik harus membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tersangka telah memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud didalam rumusan pasal 183 Kuhap. Didalam pembuktian perkara pidana keterangan terdakwa dijadikan alat bukti yang paling akhir dari semua alat bukti? (pasal 184 kuhap), walaupun demikian penyidik juga harus memahami sifat dasar hukum acara pidana yang mengekang hak asasi manusia, karena yang ditangkap dan ditahan belum tentu pelaku kejahatan, oleh karena itu harus dibutuhkan sifat kehati-hatian dan kecermatan dalam menghadapi suatu kasus .
Untuk itu, apakah setiap pelaku kejahatan seperti tersangka atau terdakwa dianggap apriori sebagai orang jahat , dan dapatkan dilakukan sebagai objek pemerasan, penganiayaan dan pembalasan dendam sebagaimana didalam H.I.R (sebelum kuhap diundangkan), dimana dalam sistem hukum yang dipergunakan pendekatan ”inkuisitur” yang melihat posisi tersangka tidak lebih dari sebuah objek pemeriksaan yang dapat diberlakukan secara sekehendak hati oleh aparat penegak hukum?. Hak asasi mereka dicampakkan dan mereka seolah-olah dianggap sebagai seonggok kotoran yang sangat menjijikan dan sampah masyarakat yang bisa diperlakukan secara sewenang-wenang.
Hak-hak tersangka dan terdakwa didalam Kuhap sudah dilindungi, dimana didalam kuhap menerapkan prinsi-prinsip yang diartikan sebagai patokan hukum yaitu asas legalitas yang disebutkan dalam konsideran Kuhap, yang dapat dibaca pada huruf a berbunyi; ”bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 45 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukan didepan hukum dan didalam pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tanpa terkecuali. Penerapan pelaksanaan kuhap harus bersumber dengan titik tolak rule of law semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan hukum dan undang-undang dan menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya, sehingga terwujud kehidupan berbangsa dalam masyarakat dibawah ”supremasi hukum”.
Dalam asas legalitas, aparat penegak hukum tidak dibenarkan untuk bertindak diluar ketentuan hukum atau Undue to law maupun undue proces, bertindak sewenang-wenang atau Abuse of power, karena setiap orang baik tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum atau equality before the law, mempunyai kedudukan ”perlindungan” yang sama oleh hukum equal protection on the law, mendapatkan perlakukan keadilan yang sama dibawah hukum equal justice under the law
Asas kedua adalah mengenai asas keseimbangan, dimana penegak hukum harus berlandaskan asas keseimbangan yang serasi, yaitu perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat, serta juga penegak hukum harus menerapkan asas equality before the law yaitu asas praduga tidak bersalah, dimana aparat penegak hukum harus berasumsi kepada pelaku kejahatan atau tersangka maupun juga terdakwa, bahwa sebelum adanya vonis pengadilan yang ingkrach, maka terdakwa belum bisa dianggap bersalah oleh hukum. Secara teknis yuridis penyidikan perkara bahwa dinamakan ”prinsip akusatur” atau accusatory procedure dimana menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek hukum, dan yang menjadi obejk pemeriksaan adalah “kesalahan” atau tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa.
Selanjutnya, Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah sebagaimana diatur dalam rumusan pasal 4 ayat 2 Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman No. 14/1970, yang menghendaki proses penegakan hukum di Indonesia dengan cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan dan tidak bertele-tele. Dimana dalam proses pemeriksaan perkara aparat penegak hukum jangan menjadikan setiap perkara tersebut terselip kepentingan pribadi dari aparat penegak hukum, sehingga terinjaknya harkat dan martabatnya manusia sebagai seorang tersangka/terdakwa.

Pembahasan
Dalam melakukan tindakan kepolisian dibidang penegakan hukum, khususnya penyidikan perkara, penyidik harus memiliki sumber daya manusia yang baik denga menguasai teknik serta taktik penyidikan. Didalam literatur disebut juga dengan istilah kriminalistik yaitu salah satu teknik dan taktik dari penyidikan perkara, demi untuk membuat terang sebuah perkara kriminil. Dalam proses pengungkapan sebuah kasus kriminil, apalagi pelakunya tidak diketahui siapa orangnya dan pelaku kejahatan hanya meninggalkan bekas-bekas kejahatan ditempat kejadian perkara.
Sebenarnya, Ilmu kriminalistik ini termasuk ilmu baru dan belum begitu diminati oleh praktisi hukum, akademisi, maupun penyidik polisi sendiri. Yang berkembang pada awal abad ke 20 yang dipelopori oleh Hans Grosz dari Austria, Locard dari Prancis, e Rechter dari Belgia.
Didalam proses mengungkap sebuah kasus kriminil tentu tidak segampang yang kita banyangkan dalam cerita-cerita heroik dikomik dan film-film, tentu ada metode penyidikan yang harus dipelajari oleh seorang penyidik profesional, supaya jangan terjadi kesalahan dalam menentukan dan menetapkan seseorang sebagai pelaku kejahatan, sehingga terjadi pelanggaran hak asai manusia yang berimplikasi kepada kesesatan putusan hakim, Istilah mengatakan bahwa ”lebih baik melepaskan seratus orang yang bersalah daripada menahan satu orang yang tidak bersalah” untuk itu, belajar dari pribahasa tersebut, tentu banyak nilai pelajaran yang bisa kita ambil.
Dalam proses penyidikan sebuah perkara kriminil, yang tidak diketahui siapa pelakunya, dan hanya meninggalkan bekas-bekas kejahatan di Tempat kejadian perkara (TKP), maka penyidik polisi didalam mengungkap siapa pelaku sebenarnya, perlu di bantu dengan beberapa ilmu lainnya antara lain adalah: ilmu alam, ilmu kimia, ilmu kedokteran kehakiman, ilmu hukum, ilmu racun (forensik), ilmu balistik, ilmu matematik, ilmu sosial dan masih banyak ilmu lainnya . Walaupun secara hukum acara formil menentukan batasan-batasan hak –hak tersangka yang harus diperhatikan dan dilindungi sesuai dengan asas- asas hukum , namun hal demikian tidak harus menyurutkan semangat penyidik untuk bisa membuktikan siapa pelaku kriminil yang sebenarnya dan harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dihadapan hukum. Sebenarnya secara spesifik mengenai proses penyidikan tidak ada diatur secara mendetail dalam hukum acara formil, apalagi ketentuan hukum kapan seseorang bisa di jadikan statusnya sebagai seorang tersangka, hal ini diserahkan kepada kenyakinan penyidik. Didalam menjatuhkan posisi seseorang sebagai pelaku kriminil dengan memberi status tersangka, tentu seorang penyidik harus mempunyai sebuah kenyakinan sesuai dengan pasal 183 kuhap yaitu minimal 2 (dua) alat bukti harus bisa di buktikan dalam proses penyidikan perkara dimaksud dalam pasal 184 kuhap yaitu tentang alat bukti. Karena keterangan saksi saja tidak cukup untuk bisa membawa tersangka dihadapan sidang pengadilan, maka harus di tambah dengan bukti lain berupa, keterangan Ahli, Petunjuk, Bukti surat, serta Keterangan terdakwa itu sendiri ihadapan sidang pengadilan.
Ilmu bantu yang dimaksud dalam ilmu kriminalistik diatas adalah dapat dipergunakan sesuai dengan porsi kasusnya. Hal mana terjadi suatu perkara pembunuhan, maka ilmu bantu yang dibutuhkan adalah yang berhubungan dengan keahlian dari disiplin ilmu kedokteran kehakiman yang mengarah keada Otopsi atau bedah mayat , dimana bisa ditentukan sudah berapa lamakah korban meninggal dunia? Dengan cara bagaimanakah korban tersebut dibunuh? Hal-hal apakah yang menyebabkan korban meninggal? Apakah alat yang dipergunakan pelaku dalam melakukan kejahatan? Dan pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus ditimbulkan oleh penyidik itu sendiri dengan dikaitkan fakta riil dilapangan (TKP) dan yang harus di kejar dalam hal pembuktian perkara adalah hal yang berkaitan dengan perkara, sebagaimana diatas sudah disebutkan bahwa penyidik harus jeli dengan bekas-bekas kejahatan yang ditinggalkan pelaku kejahatan di tempat kejadian perkara (TKP), dan seorang penyidik jangan menganggap remeh hal sekecil apapun yang ditemukan di tempat kejadian perkara, karena dari hal-hal yang kecil akan bisa mengungkap hal yang besar yaitu pelaku kejahatan yang sedang dicari itu sendiri.
Seorang penyidik dalam hal penyidikan perkara tidak cukup dengan teknik kriminil yang didapatkan melalui pendidikan kepolisian secara umum saja, tetapi juga harus dibantu dengan taktik penyidikan perkara dan harus disertai dengan akal yang cerdik, keterampilan seperti inilah yang disebut dengan taktik penyidikan atau taktik penangkapan, taktik penggeledahan, taktik mendengar keterangan saksi dan tersangka yang merupakan pekerjaan khusus penyidik , yang termasuk dalam bidang takti penyidikan antara lain:
1. tindakan pertama di TKP;
2. pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka;
3. mencari informasi melalui informan/spionase ;
4. undur cover / penyamaran ;
5. eliciting / pembuntutan ;
6. memberikan hadiah kepada orang yang menemukan pelaku;
7. pelajari bahasa sandi penjahat, takhayul, jimat;
8. dll.
Selanjutnya, sistem penyidikan dalam proses pemeriksaan saksi ataupun tersangka adalah dengan mengunakan sistem pertanyaan 7 (tujuh) kah yaitu tentang; Apakah yang terjadi? Pertanyaan ini mengenai persoalan, macam peristiwanya, Dimanakah perbuatanh itu dilakukan yang berorientasi kepada locus delicty perkara, Bilamanakah perbuatan dilakukan? Mengarah kepada Tempu delicty yaitu waktu kejadian perkara terjadi, Dengan Apakah perbuatan dilakukan? Mengarahkan kepada apakah alat yang dipergunakan sipelaku dalam melakukan perbuatan kriminil?, Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan? Menuju kepada cara pelaku dalam melakukan perbuatan kriminil, Mengapakah perbuatan dilakukan? Yaitu apa alasan-alasan dari pelaku kriminil dalam melakukan kejahatan hingga terjadinya korban jiwa, dan Siapakah yang melakukan? Pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang mengarah kepada sipelaku kejahatan itu sendiri, aklau pemeriksaan sedang dilakukan terhadap saksi ataupun korban kejahatan. Untuk beberapa negara eropa juga menggunakan bentuk pertanyaan berupa ; 7 W yakni; Who, What, Why, When, With, What Time, Where. Yang orientasinya juga sama yaitu mengejar kearah pelaku kejahatan.
Ilmu kriminalistik dapat dikatakan juga sebagai langkah praktis pekerjaan penmyidikan yang dilakukan polisi untuk mengungkap perkara kejahatan guna mencari pelakunya, kalau kita sudah mempelajari serta memahami tentang ilmu kriminalistik maka kita akan mengetahui mengetahui cara tugas polisi dalam menangani sebuah perkara pidana, kesulitan apa yang dihadapi dalam penyidikan untuk mencari pelaku kejahatan.
Didalam Teknik penyidikan mengajarkan tentang menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pengusutan perkara kejahatan, diantara lain adalah; pengetahuan tentang hukum pidana formil dan materiil termasuk juga ilmu kepolisian, untuk mencari sebuah pembuktian dibutuhkan ilmu pembuktian, metode pengusutan perkara, yang mencari bekas-bekas psikis dan bekas-bekas pisik yang tertinggal setelah kejadian, dengan menggunakan alat-alat bantu berupa fotografi, mikroskop, taperecorder dll. Memiliki pengetahuan identifikasi, ilmu jiwa dan juga didukung dengan pengetahuan bahasa .
Untuk dapat diterima masyarakat luas beban pekerjaan polisi ini, maka tidak terlepas polisi juga manusia, yang juga penuh dengan segala kekurangan, maka polisi itu sendiri juga harus menggunakan etika kepolisian dalam hal bertindak dalam proses penyidikan, pendapat Drs. Soemoenoe dalam buku Etika Kepolisian (Kunarto;1997) mengatakan; bahwa etika kepolisian disamakan dengan etika khusus atau etika terapan, juga bersumber dari etika umum dengan semua normanya, seperti berbuat baik, tidak merugikan, menghormati otonomi manusia, kejujuran, keadilan dan lain-lain, yang diterapkan dalam eksistensi Polisi dalam semua tugasnya termasuk didalamnya penyidikan perkara kejahatan. Didalam aplikasi tugasnya polisi secara khusus, polisi lalulintas misalnya; dapat ditambahkan dengan unsur keamanan dan kelancaran berlalu lintas, dan bagi reserse dapat ditambahkan dengan unsur kecepatan dan ketetapan serta kebenaran dan keadilan penyelesaian perkara.
Maksud dari rumusan diatas tercakup dalam pemikiran bahwa ;
1. Norma perilaku; bermakna petunjuk tentang ukuran baik dan buruk bagi pelaku atau pelaksana;
2. Polisi; bermakna kepolisian sebagai pejabat, sebagai organ negara;
3. Pedoman untuk mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi masyarakat, sebagai wujud pengabdian terbaik;
4. Penegak Hukum, ketertiban dan kemanan; bermakna tentang misi preventif, pre-emtif dan represif.
Kaitan antara etika kepolisian dengan pelaksanaan tugas polisi itu sendiri adalah dimana digambarkan bahwa etika kepolisian adalah perilaku etis dari setiap polisi dalam semua bentuk penugasan, agar semua tugas dapat terlaksana secara baik sehingga terwujud kondisi dan rasa aman dalam masyarakat serta dengan derajat tinggi dilingkungan masyarakat atas pelanksanaan tugas yang telah dilakukan. Orientasinya kepada masyarakat adalah, bahwa polisi yang bekerja sesuai dengan etika yang ada akan berimplikasi kepada masyarakat yang taat hukum dan partisipatif pada usaha mewujudkan ketertiban dan keamanan.

Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 5 UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah diatur tentang tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu; menjaga keamanan dan ketertiban umum, Aparat penegak hukum serta sebagai pelindung, penganyom, dan pembimbing masyarakat. Polisi sebagai aparat penegak hukum didalam pelaksanaan tugas diatur dengan hukum formilnya yaitu UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kuhap, yang mana mengatur tentang pelaksanaan tugas polisi sebagai penyidik. Tiada lain semua aturan formil ataupu materiil dibuat sebagai penunjang tugas polisi menuju kearah profesionalitas dan proporsionalitas, serta didalam hal penyidikan perkara kejahatan polisi harus dibekali dengan Ilmu Kriminalistik yaitu ilmu penyidikan kejahatan tentang teknik dan taktik penyidikan perkara untuk mengetahui siapa pelaku kejahatan, sehingga pelaku kejahatan tersebut bisa dituntut dihadapan sidang pengadilan dengan hukuman seberat-beratnya. Tidak ahanya sampai disitu polisi juga harus dibekali dengan etika kepolisian dalam bertindak ditengah-tengah masyarakat supaya tercapai polisi yang dicintai dan dirindukan oleh masyarakat.

KEJAHATAN KORPORASI
DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
Oleh
Bripka Yudikrismen, S.H., M.H


Perilaku korporasi.
Perilaku menyimpang korporasi (corporate misconduct), entah berupa kejahatan kerah putih (white colar crime), kejahatan korporasi (corporate crime), perilaku tidak etis, melakukan pelanggaran terhadap peraturan, senantiasa menjadi perhatian mengingat angka kerugian yang ditimbulkan korporasi yang begitu besar. (A.Meliala;1993)
Bahkan jika benar korporasi berjiwa sebagaimana manusia dalam hal pertanggung jawaban pidana yaitu adanya mens rea, dan diikuti dengan perbuatan berupa mens prohibita, maka terjadilah kejahatan. Yakni dalam upaya “menimbulkan derita” seberat-beratnya dalam tubuh korporasi yang melakukan penyimpangan berupa pertanggung jawaban pidana dimaksud. Pemikirannya adalah bahwa setelah didera maka jiwa korporasi yang “kotor” akan bersih kembali serta akan membuat jera korporasi untuk melakukan penyimpangan kembali.
Namun itu tidak mudah. Salah satu adalah tidak maunya korporasi yang bersedia memikul tanggung jawab (accountability) atas perilaku korporasi. Terlepas dilakukan secara illegal atau tidak perbuatan menyimpang itu, bila tindakan korporasi dalam mencari dan mengejar keuntungan akhirnya terpuruk pada kondisi tertentu yang menuntut pertanggung jawaban etika, moral dan hukum, tentunya ada seseorang yang bertanggung jawab.
Belum terjawab permasalahan diatas sudah muncul permasalahan kedua, yang mana dalam struktur korporasi yang semakin membesar, bertendensi konglomerasi, otonom, padat modal, global, joint sharing, dan lain lain. Dalam korporasi individu hanyalah sebagai unit saja, tetapi tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhi unit tersebut berprilaku menyimpang tidak semestinya. Sejauh ini faktor kepribadian, kesempatan serta situasilah yang diduga kuat menjadi penyebab penyimpangan dilakukan korporasi.

Bentuk kejahatan korporasi.
Motif ekonomi dari sebagian korporasi untuk memperoleh keuntungan dan kekayaan besar-besaran dengan menimbulkan kerugian besar kepada warga masyarakat, negara dapat dilakukan melalui perbuatan atau kejahatan terselubung dengan modus operandi yang halus. Dan memanfaatkan teknologi canggih, merusak mental pejabat atau birokrat. Apabila hal ini tidak ditindak lanjuti dengan penegakan hukum, maka kejahatan korporasi akan terus berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan manusia. Dalam hal ini Aparatur yang berhubungan langsung dengan segala kegiatan korporasi harus waspada, karena korporasi akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan korporasi itu sendiri yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Aparatur negara yang mental koruptor dan moralitas kurang serta tidak ada rasa tanggung jawab akan terkontamisasi dengan perilaku korporasi menyimpang dimaksud. Kejahatan korporasi tidak saja menimbulkan korban negara tetapi juga lingkungan seperti sumber daya alam (air, tanah, udara, flora, dan fauna) maupun sumber daya manusia (pekerja, konsumen, dan masyarakat). (Setiyono;2002)
Hukum yang ada tidak dapat mengimbangi secara memadai tekanan organisasional yang terselubung guna memperoleh keuntungan maksimal, hal mana sebenarnya menjadi akar penyebab dari kejahatan korporasi itu sendiri.
Suatu upaya manipulasi atas pembayaran yang didasarkan atas prestasi, misalnya dapat merangsang tindak illegal. Demikian pula struktur korporasi yang desentralisasi kerap menyulitkan guna menemukan seseorang yang bisa menjadi biang keladi melakukan kejahatan korporasi didalam korporasi itu sendiri. Psikolog mengatakan orang lebih cenderung untuk mengambil resiko ketika berada dalam kelompok dibandingkan sendirian.

Pertanggung jawaban korporasi dalam hukum pidana Indonesia.
Dalam pertanggung jawaban pidana terdapat dua pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis, untuk pandangan monistis di dikemukakan oleh simons yang merumuskan “straafbaarfeit” sebagai een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handelin van een torekeningvatbar persoon. Artinya; suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, yang bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Meliputi baik unsur-unsur perbuatan, yang lazim disebut unsur obyektif, maupun unsur-unsur pembuat yang lazim dinamakan unsur subyektif.
Penganut pandangan monistis tentang straaf bar feit atau criminal act berpendapat dengan unsur-unsur pertanggung jawaban pidana; kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas, sengaja dan atau kealpaan dan tidak adanya alasan pemaaf.
Lain lagi pandangan dualistist yang menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang seketika itu berkuasa, yang dinamakan “obyektif schuld” karena kesalahan dipandang sebagai sifat dari kelakukan, dan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan korporasi sebagai unitnya adalah individu terlebih dahulu harus dibuktikan adanya “strafbaar handlung” atau “perbuatan pidana”, lalu sesudah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subyektif pembuat.
Mengenai sifat pertanggung jawaban korporasi, terdapat sistem-sistem sebagai berikut (Muladi:1991);
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengguruslah yang bertanggung jawab.
b. Korporasi sebagai pembuat dan penggurus bertanggung jawab,dan
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Dalam hal unit/individu sebagai pembuat dan penggurus korporasi lah yang bertanggung jawab, kepada penggurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan sebenarnya adalah kewajiban korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapus pidana, sedangkan dasar pemikiran adalah; korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana terhadap suatu perbuatan pidana atau pelanggaran, melainkan selalu penggurusnya lah yang diancam pidana dan dipidana.
Ketentuan dalam KUHP menganut subyek dalam hukum pidana adalah orang , hal itu sebagaimana ditegaskan dalam pasal 59 KUHP, kalau dihubungkan dengan tahap-tahap perkembangan korporasi merupakan tahap pertama, yaitu pertanggung jawaban korporasi belum dikenal, karena pengaruh yang sangat kuat asas “societas delinguere non potest” yaitu badan badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas “universitas delinquere non potest” artinya badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana.
Di Indonesia sejak tahun 1951 korporasi sudah dimasukkan sebagai subjek hukum pidana yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Darurat tentang Penimbunan Barang, dan kemudian diikuti dengan Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang Pencucian Uang. Namun demikian belum ada putusan pengadilan pidana (Yurisfrudensi) yang menvonis korporasi sebagai pelaku kejahatan sampai sekarang ini.

Pertanggung Jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Anglo-Amerika.

Praktisi peradilan di Amerika Serikat untuk mengatasi kejahatan korporasi mengunakan langkah-langkah (Adrianus meliala;1993) :
Pertama; agar pelaku dipermalukan didepan umum dan pihak kongres lebih ingin menghadirkan pelaku kejahatan korporasi kedepan sidang secara langsung, dan menolak bila wakilnya yang datang. Para penuntut umum diharapkan lebih bersedia “menelanjangi” para eksekutif dimuka pengadilan dari pada mengajukan tawaran denda. Orientasinya adalah supaya pelaku kejahatan korporasi itu sendiri merasa dipermalukan, dengan tujuan penjeraan terhadap pelaku lain.
Kedua, pengucilan eksekutif, yaitu dilepaskan haknya untuk bekerja disemua perusahaan, kalau di Indonesia seperti hak politik direcall atau menarik anggota partainya yang duduk di DPR karena suatu sebab. Sampai tingkat tertentu praktik “pengucilan” ini konon efektif guna meredam kejahatan korporasi.
Ketiga, denda yang berat yang diberikan kepada korporasi, karena kejahatan ekonomi pasti dilatar belakangi dengan tujuan ekonomis. Termasuk disini memperhitungkan bahwa aksi mereka sekali waktu akan terbongkar serta memperhitungkan bahwa selalu harus tersedia dana untuk membayar denda atau “membungkam” petugas yang membongkar kasusnya.
Keempat, pelayanan (community-service) sebagai alternatif lain yang berwenang memberi diskresi putusan, dengan memberikan hukuman pelayanan masyarakat kepada perusahaan (community service-sentences). Pendekatan ini dilakukan terhadap kejahatan Lingkungan. Hukuman ini mengharuskan korporasi menyediakan sarana umum sebagai pengganti kerugian, keharusan memperbaiki jalan lingkungan yang rusak akibat dilindas truk proyek.
Kelima, kewenangan yuridis guna meninjau aktivitas korporasi. Sekali suatu perusahaan ditemukan telah melanggar hukum, pengadilan via penuntut umum berkewenangan untuk melakukan perubahan yang spesifik dalam prosedur dan aktivitas bisnisnya.
Keenam, menghilangkan kemampuan untuk menyangkal (no deniability shield) maneger puncak seharusnya tidak lupa bahwa posisinya tidak membuat dirinya bebas dari tanggung jawab. Karena semua informasi tidak semua sampai kepada top manager, maka seketika terjadi masalah top manager selalu menyangkal dengan mengatakan tidak mengetahui apa yang diperbuat anak buahnya.
Perkembangan pemidanaan terhadap kejahatan korporasi yang diberlakukan dinegara Anglo-Amerika sudah diberlakukan. Terhadap pelaku kejahatan korporasi serta badan hukum berupa korporasi itu sendiri. Semua upaya yang dilakukan oleh lembaga pengadilan atas bentuk penghukuman kepada korporasi beserta penggurus yang melakukan kejahatan korporasi adalah bertujuan untuk membuat jera pelaku kejahatan korporasi dimaksud.

Siapa yang salah
Begitu bebasnya korporasi melakukan aktifitas bisnisnya untuk mencapai hasil ekonomi yang maksimal dengan tanpa memperhatikan akibat kerusakan yang akan timbul terhadap masyarakat, konsumen, dan juga negara. Beberapa kasus korporasi yang terjadi, belum mampunya lembaga penegakan hukum konvensional untuk memberhentikan derap langkah korporasi. Apalagi menindak perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri. Salah satu sebab mungkin belum tercakupnya perbuatan menyimpang berupa kejahatan pidana yang dilakukan korporasi didalam ketentuan hukum positif kita, secara nyata akan mempersulit aparat penegak hukum melakukan penindakan represif, karena negara kita adalah negara hukum, memakai mazhab positivisme, dengan dasar asas legalitas (Nullum delictum nulla poena preciea lege poenali) yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHPidana.
Kita tidak dapat bayangkan, bagaimana kehidupan anak cucu kita, bangsa kita dan bahkan bumi kita sepeninggal kita nantinya. Realitanya sekarang ini, akibat nyata kejahata korporasi adalah terjadinya pemanasan global (global worming) siapakah yang harus dipersalahkan..?

Bripka Yudikrismen, S.H., M.H.
Anggota Sat II Dit Reskrim Polda Riau, serta
Dosen Hukum dan Kriminologi UIR.
TINDAK PIDANA PERBANKAN (TIPIBANK)
DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh;
Yudikrismen, S.H., M.H

Abstrak

Perbankan memiliki peran strategis bagi pembangunan bangsa. Karena itu usaha perbankan perlu diberikan dukungan oleh semua pihak. Namun demikian, tidak jarang karena perannya yang strategis tersebut, muncul kejahatan di bidang perbankan. Munculnya kejahatan perbankan diduga sebagai akibat belum optimalnya penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan. Makalah berikut menyimpulkan bahwa memang penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan belum optimal khususnya dalam hal koordinasi antara penegak hukum.


Pendahuluan
Sebagai suatu kepercayaan masyarakat bahwa perbankan memegang peranan penting dalam sistem perekonomian, sehingga perbankan disebut sebagai jantung dari sistem keuangan, dikarenakan bank bekerja menghimpun dana dari masyarakat (individu-individu), badan usaha milik negara maupun badan hukum swasta (perusahaan-perusahaan swasta).
Lembaga perbankan memiliki pula fungsi dan kewenangan menyediakan dana melalui kebijakan pemberian kredit kepada individu ataupun badan usaha yang memerlukan investasi dalam melakukan kegiatan dibidang usaha. Fungsi dan kewenangan perbankan lainya adalah menfasilitasi aliran barang dan jasa dari produsen kepada konsumen serta melakukan aktivitas keuangan untuk kepentingan pemerintah, badan usaha milik negara, perusahaan-perusahaan swasta maupun untuk kepentingan rumah tangga, selain itu perbankan memiliki fungsi dan kewenangan, “mengedarkan uang sebagai alat pembayaran, menerapkan kebijakan uang ketat maupun meningkatkan penyaluran kredit kepada masyarakat luas”
Dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan perbankan tersebut, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dan diterapkan oleh perbankan, supaya terciptanya sistem perbankan yang tangguh, sehat, dinamis, profesional, dan dapat dipertanggung jawabkan, dan perbankan juga harus dapat menerapkan prinsip kehati-hatian (frudential), keuntungan (profibility), dan efisiensi yang diharapkan dapat menjaga kekuatan dan pertumbuhan sistem perbankan nasional kearah yang dicita-citakan.
Memperhatikan peranan lembaga keuangan yang begitu strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional maka perlu senantiasa dilakukan pembinaan dan pengawasan yang efektif, terencana dan terarah secara berkesinambungan yang dilakukan oleh otoritas Bank Indonesia terhadap kinerja manajemen seluruh aktivitas lembaga perbankan, pemerintah, perbankan swasta asing yang beroperasi diseluruh wilayah Indonesia.
Selain memiliki peran yang strategis dalam pembangunan, di sisi lain perbankan juga merupakan salah satu wadah yang sangat rentan bagi terjadi pelbagai kejahatan di bidang perbankan yang dapat menimbulkan kerugian negara. Semakin banyaknya lembaga perbankan yang berkembang di Indonesia serta semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk pelaksanaan pembangunan ekonomi maupun fisik, maka akan semakin besar pula peluang untuk terjadinya kejahatan dibidang perbankan.
Masih terjadinya kejahatan di bidang perbankan tidak terlepas dari tidak optimalnya penegakan hukum oleh sistem peradilan pidana (CJS) khususnya kepolisian, bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas maka perlu di ketengahkan makalah dengan judul “TINDAK PIDANA PERBANKAN (TIPIBANK) DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA”.

Perumusan Masalah
Masalah yang akan dijawab dalam makalah ini adalah bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan di Indonesia?

Pembahasan
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perbankan
Berdasarkan modus operandi serta ciri-ciri pelaku kejahatan dibidang perbankan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan kerah putih (white collar crime) yang dikembangkan oleh Edwin E. Shuterland; 1933 yang menyatakan ; white collar crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang berstatus sosial terhormat dan perbuatan tersebut dilakukan berkaitan dengan aktivitas pekerjaan dalam jabatannya (accupational crime) diantaranya adalah ; “tindak pidana perbankan dapat berupa melakukan pemalsuan surat dalam lalulintas pembayaran (cek, wesel, giro bilyet) mendirikan bank tanpa izin (untuk menghindari pajak), memberikan kredit melampaui batas kemampuan keuangan bank, menggelapkan uang nasabah, membocorkan segala rahasia keuangan nasabah dan lainnya” . Lihat juga Bab VIII tentang Ketentuan pidana dan sanksi administrasi dalam pasal 46 s/d 53 UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan
Selain itu tindak pidana perbankan sering juga terjadi dalam praktek dunia perbankan di Indonesia yaitu terjadinya suatu perbuatan/tindakan pengurus lembaga perbankan pemerintah ataupun yang dilakukan lembaga perbankan swasta nasional, dengan berbagai cara mengubah, menghilangkan dalam pencatatan palsu terhadap kegiatan usaha yang berupa rekayasa setoran modal, rekayasa pemberian kredit, membuat laporan keuangan publikasi palsu, rekayasa pembukuan, permanfaatan bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) untuk kepentingan bank, pemamfaatan dana bank untuk keperluan pribadi penggurus, pengambilan uang bank melalui rekayasa fiktif yang merugikan bank.
Menurut Muhammad Djumhana Tipologi tindak pidana perbankan dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) jenis, baik yang berupa kejahatan maupun dalam bentuk pelanggaran yang sering terjadi dalam praktek adalah; penipuan atau kecurangan dalam bidang perkreditan (credit fraud), penggelapan dana masyarakat (embezzement of public funds), penyelewenagan atau penyalahgunaan dana masyarakat (misappropriation of public funds), pelanggaran terhadap peraturan-peraturan perbankan (violation of curmency regulation), dan pencucian uang (money laundry).
Dalam kaitannya dengan hukum pidana, Prof. Sudarta, SH, sebagaimana dikutip Barda Nawawie Arief , mengemukakan tiga arti tentang kebijakan kriminal yaitu :
1. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
3. dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.



2. Penegakan Hukum Tindak Pidana Perbankan di Indonesia
Penggunaan hukum pidana dalam tindak pidana perbankan memiliki kemampuan yang sangat terbatas, dan untuk mengoptimalkan fungsi hukum pidana tersebut, diperlukan adanya keterpaduan antara kebijakan sosial dan politik kriminal serta keterpaduan antara penggunaan sarana penal dan non penal. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perbankan dalam kenyataannya memang belum berjalan dengan maksimal, meskipun tindak pidana perbankan berjalan terus meningkat dan berkembang, Menurut Barda Nawawie Arief, hal ini disadari dan tidak terlepas dari beberapa hal antara lain;
1. masalah karakteristik tindak pidana perbankan sulit untuk dideteksi secara dini, sementara pelakunya adalah orang-orang yang terdidik (intellek).
2. masalah teoritis hukum pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam penerapannya, dan
3. dari segi sistem masih ditemui permasalahan, baik menyangkut substansi hukum, penegak hukum, fasilitas dan budaya hukum di lingkungan masyarakat perbankan itu sendiri.
Semakin berkembang masyarakat dan akan semakin berkembang pulalah suatu kejahatan, begitu juga dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas transaksi pada perbankan, maka kejahatan akan cenderung mengikuti transaksi perbankan yang maju pesat tersebut, namun demikian kasus-kasus Tipibank yang dapat diselesaikan penegakan hukumnya masih sangat terbatas, karena begitu bervariasinya praktek perbankan, menurut Soerjono Soekanto beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum tipibank, yaitu:
1. faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja,
2. penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum,
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan
5. faktor kebudayaan sebagai hasil karya dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

a. Undang-undang.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penegakan hukum tindak pidana perbankan adalah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi, dengan adanya kelemahan dan kekurangan peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu perbuatan yang dilarang menurut undang-undang yang mempunyai sanksi hukum berupa pidana, maka akan terkendala penegakan hukum dan terdapat banyak kesulitan dalam aplikasi penegakan hukum. Tindak pidana perbankan dengan memakai modus operandi baru akan menjadi suatu kendala dalam penegakan hukum dikarenakan cakupan dalam substansi hukum kejahatan perbankan belum termuat secara keseluruhan dalam undang-undang perbankan yang sudah ada dan harus diikuti dengan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), undang-undang tindak pidana korupsi, dan undang undang tindak pidana pencucian uang (money laundering).
Begitu juga dengan substansi undang undang perbankan no. 7 tahun 1992 yang diperbaharui dengan undang-undang no. 10 tahun 1998 yang menyangkut ketentuan pidana terdapat dalam pasal 48 ayat 2 berbunyi;

“Anggota Dewan komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”

yang mana rumusan pasalnya tidak spesifik yang menjadikan cakupan pasal tersebut tidak jelas tentang batasannya, sehingga terjadi kekaburan yang menimbulkan perdebatan dalam penerapannya.
Selain dari substansi uu perbankan itu sendiri juga mengenai kendala apabila pelaku tindak pidana perbankan (Tipibank) melarikan diri ke luar negeri setelah melakukan kejahatan perbankan di Indonesia, maka akan sulit untuk menjerat pelaku serta melakukan penyitaan terhadap harta benda yang didapatkan dari hasil sebuah kejahatan perbankan yang di lakukan di Indonesia dikarnakan persoalan ekstradiksi (perjanjian ekstradisi) sebagai dalih aparat penegak hukum, seperti dibuatnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura baru-baru ini untuk mengantisipasi supaya pelaku kejahatan yang telah melakukan kejahatan di Indonesia dengan membawa barang hasil kejahatannya kenegara singapura bisa dijerat dengan hukum Indonesia berikut harta hasil dari kejahatannya tersebut.

b. Penegak hukum.
Dalam hal penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana terpatu (SPPT) atau criminal justice system yang terdiri dari penyidik kepolisian, penuntut umum dari pihak kejaksaan, pemutus perkara oleh pihak pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang akan melakukan pembinaan terhadap narapidana yang sudah memiliki keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Mereka adalah aparat penegak hukum yang sangat menentukan, meskipun sebaik dan sesempurna apapun aturan yang dibuat pada akhirnya akan ditentukan oleh orang-orang yang menegakkan aturan tersebut.
Menyangkut hal ini prasyarat yang harus dipenuhi penegak hukum adalah yang menyangkut kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) nya, baik dari segi intelektual maupun dari segi moral aparat penegak hukum itu sendiri, hal itu sangat penting apabila dikaitkan dengan kejahatan perbankan yang selalu menggunakan modus operandi yang baru dalam melakukan kejahatan perbankan, disamping jumlah personil penegak hukum juga diperlukan tenaga ahli (skill) dibidang perbankan. Jika kualitas penegak hukum yang biasa biasa saja dan kurang memadai, maka tentu tidak akan dapat bersaing dengan kecerdikan para tersangka tindak pidana perbankan, yang sebagian besar atau boleh dikatakan dilakukan seluruhnya oleh mereka yang terpelajar (intellektual), terpandang, mempunyai jabatan dan banyak uang.
Penegakan hukum tipibank belum bisa dilaksanakan penerapannya secara optimal, maka perlu dipertanyakan kualitas SDM penegak hukum itu sendiri, kedepan diharapkan masing-masing instansi penegak hukum masing-masing dari penyidik, penuntut umum dan hakim, harus memiliki wawasan yang luas dan mengerti dalam bidang perbankan, untuk dapat meningkatkan kualitas penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) training secara terprogram, terencana, terpadu secara berkelanjutan atau dilakukan latihan bersama denga instansi terkait dalam penanganan perkara tipibank seperti; Bank Indonesia dan PPATK di jakarta.
Juga diperlukan hubungan kerja sama yang baik yang harus selalu terjalin antara aparat penegak hukum dengan pihak Bank Indonesia selaku lembaga pembinaan dan pengawasan yang efektif, terencana dan terarah secara berkesinambungan terhadap kinerja manajemen seluruh aktivitas lembaga perbankan, pemerintah, perbankan swasta asing yang beroperasi diseluruh wilayah Indonesia.
Mungkin juga perlu dilakukan Platform dalam struktur penegak hukum dan dalam beberapa tahun yang lalu disebut juga dengan Mahkejapol (Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian) dan tanggal 16 april (Kompas, 16/4/2004) dilakukan kembali pertemuan pimpinan tertinggi (penegakan) hukum atau summit untuk menyatakan perang terhadap kejahatan.
Namun demikian, Dari aspek moral penegak hukum juga suatu hal yang sangat menentukan sebagaimana dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo ; “Bagaimana mungkin memberantas suap yang menjadi unsur awal korupsi dan penyalahgunaan wewenang (occupational crime) pada aparat penegak hukum, Polisi, jaksa atau Hakim dan penegak hukum lain, dengan mengibaratkan : “bagaimana menyapu halaman sebuah rumah secara bersih kalau sapunya sendiri sebuah sapu kotor”? (pendapata,pen) hal ini perlu dibenahi kembali, mental dan moral aparat penegak hukum yang selalu mempunyai kepentingan (Interest) setiap adanya perkara yang ditangani. Yang berimplikasi kepada tidak tegaknya hukum secara konsisten sehingga tidak memenuhi rasa keadilan dimasyarakat, dan aparat penegak hukum tidak saja harus mengacu kepada hukum positif yang ada (mazhab positivisme) tetapi juga berupaya untuk menemukan hukum baru dalam masyarakat dan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

c. Sarana dan parasarana pendukung.
Seiring dengan perkembangan tekhnologi yang berkembang cukup pesat, maka kegiatan dibidang perbankan juga tidak mau ketinggalan dan mengikuti perkembangan Ilmu dan teknologi informasi (Iptek). Seperti dalam membantu kelancaran transaksi dengan pihak bank dengan nasabah lembaga perbankan menggunakan alat berupa komputerisasi, penggunaan sistem online, penggunaan ATM, fasilitas kartu kredit (credit card) dll. Bagaimanapun juga kejahatan perbankan tidak akan kalah canggihnya dalam melakukan kejahatan perbankan dengan menggunakan modus operandi yang lebih baru lagi. Dan tidak dapat dihindari dalam penegakan hukum perbankan perlu adanya pemenuhan terhadap sarana dan fasilitas yang menunjang terlaksananya tugas dengan baik, serta dukungan dalam bentuk dana operasional maupun peralatan yang dimiliki aparat penegak hukum.

d. Masyarakat.
Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan, yang dianggap baru oleh masyarakat, akan sangat sulit karena masyarakat masih beranggapan dan tidak menerima secara langsung akibat dari perbuatan pidana perbankan tersebut secara nyata didalam kehidupan bermasyarakat. Dan juga sangat sulit menghindari segala intervensi kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dalam perkara dimaksud. Terutama ada intervensi dari pihak partai politik guna kepentingan politik partainya tersebut dan tanpa disadari konfigurasi elit politik lebih mendominasi dalam kasus perbankan, sehingga akses kekuasaan yang dimiliki seringkali melakukan intervensi terhadap kasus yang prosesnya sedang berjalan, sehingga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perbankan.
Dilihat dari kepentingan ekonomi dan secara wajar dalam usaha perbankan sebagai tujuannya, namun akan menjadi suatu kejahatan ketika cara mengaktualisasi kepentingan itu telah melanggar kaidah-kaidah hukum yang terkandung dalam substansi hukum positif, penegakan hukum dengan lemahnya moral aparat penegak hukum dan kuatnya kemampuan ekonomi pelaku kejahatan akan berpengaruh dalam hal proses penegakan hukum bidang perbankan terutama dalam posisi tawar (Bargaining position) yang dapat mempengaruhi jalannya proses penegakan hukum.

e. Budaya
Budaya hukum dalam masyarakat, terutama masyarakat sebagai debitur pada perbankan belum menunjukkan suatu sikap dan bentuk prilaku yang lebih baik dan membanggakan. Beberapa banyak kasus pinjaman bank dengan anggunan fiktif dan sehingga terjadinya kredit macet dan menghambat kinerja dari pada pihak perbankan untuk tumbuh dan berkembang yang berakibat terjadinya kejahatan perbankan yang merugikan Negara dan masyarakat.
Friedman; mengatakan budaya hukum merupakan bagian sistemik dari sistem hukum, budaya hukum dimasukkan kedalam 3 (tiga) bagian yaitu ; struktur hukum, yang meliputi badan ataupun kerangka kerja bentuknya sistem hukum dan yurisdiksinya, substansi hukum meliputi norma-norma ataupun kaidah-kaidah yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga dan budaya hukum meliputi ide, sikap, kepercayaan dan pendapat terhadap hukum.

Penutup
Penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan belum optimal sebagaimana yang diharapkan, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; faktor hukum, faktor masyarakat, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana serta faktor budaya. Dari kelima faktor tersebut faktor yang paling menonjol adalah faktor penegak hukum dimana masih terdapat kurangnya koordinasi antar instansi seperti; Penyidik, Penuntut Umum dan pihak Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional dan swasta nasional serta PPATK sebagai pengawas transaksi keuangan secara langsung, Semestinya koordinasi ini perlu ditingkatkan untuk dapat menekan terjadinya kejahatan di Bidang Perbankan.


Kepustakaan

Arie Sundari, S, Peranan Bank Indonesia Dalam Mencegah Terjadinya Tindak Pidana Perbankan, Alumni: Bandung, 2004.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996

HAK Moch Anwar, Tindak Pidana Dibidang Perbankan, Alumni: Bandung, 1998.

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti: Bandung, 2002.

Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, PT Kompas Media Utama, jakarta , 2006

Soekanto, Soerjono, Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali: Jakarta, 1997
KPK versus DPR
Oleh : Yudikrismen

Ketika KPK (komisi Pemberantasan Korupsi) menangkap Al Amin Nur Nasution anggota Komisi IV DPR-RI hari Rabu tanggal 09 april 2008 dini hari dan dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait dengan pengalihfungsian hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan Kepulauan Riau, ternyata permsalahan itu tidak selesai sampai disitu saja. Tindak lanjut dalam proses penyidikan perkara diduga suap untuk meloloskan pengalihfungsian hutan lindung tersebut ternyata pihak KPK untuk membuat terang suatu perkara akan melakukan langkah-langkah penyidikan perkara yaitu Penggeledahan ruang kerja anggota Komisi IV DPR-RI tahun 2004-2009 Al Amin Nur Nasution yang dapat pertentangan dari ketua DPR Agung Laksono dan didukung oleh Pimpinan fraksi, Komisi III dan Badan Kehormatan DPR.
Langkah penggeledahan yang akan dilakukan oleh KPK diruang kerja Al Amin Nur Nasution tersebut adalah salah satu Upaya Paksa dalam proses penyidikan perkara, antara lain rangkaian dari Upaya Paksa dalam proses penyidikan perkara adalah : Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan dan Penyitaan, sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kuhap dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Untuk langkah pertama yaitu pemanggilan akan dilakukan apabila ada laporan terlebih dahulu, lain dengan perkara yang ditangani KPK sekarang ini, laporan tidak ada dan tindak pidana suap atau gartifikasi ditemukan langsung oleh pihak penyidik KPK dengan tertangkap tangan anggota komisi IV DPR-RI yang menggurusi masalah kehutanan, diduga menerima uang untuk meloloskan pengalihfungsian hutan lindung di Pulau Bintan Kepulauan Riau di sebuah hotel dari Sekda Kabupaten Bintan.
Setelah tersangka tertangkap tangan, maka proses selanjutnya adalah dilakukan penahanan atas diri tersangka Al Amin Nur Nasution beserta Sekda Kab. Bintan Kepulauan Riau diikuti dengan pencarian bukti-bukti untuk membuat terang perkara sampai pada tingkat penuntutan serta pemeriksaan perkara disidang Pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi) yaitu dengan melakukan langkah penggeledahan kantor tersangka Al Amin Nur Nasution di gedung Bundar DPR-RI di jakarta untuk dilakukan Penyitaan Barang Bukti yang terkait dengan perkara Gratifikasi serta Suap dalam hal meloloskan pengalihfungsian hutan lindung di Pulau Bintan kepulauan Riau seluas 7.300 hektar tersebut.
Kalau menurut ketentuan Kuhap, langkah-langkah yang dilakukan oleh KPK tersebut sudahlah benar, tetapi dalam hal pelaksanaannya harus ada ijin secara tertulis kepada Ketua DPR-RI yang mengepalai lembaga legislatif. Hal itupun sudah dilakukan oleh KPK. Tetapi tindakan yang dilakukan oleh KPK tersebut tetap dilakukan penolakan oleh Ketua DPR-RI dengan mengatakan bahwa penggeledahan dilakukan KPK tanpa diketahui oleh pimpinan KPK dengan didukung oleh Pimpinan fraksi, Komisi III dan Badan Kehormatan DPR, tetapi hal itu spontan dibantah oleh KPK dengan mengatakan bahwa KPK sudah mengantongi izin dari Pengadilan Tipikor dan tidak perlu lagi izin tertulis dari ketua DPR-RI.
Dengan tetap dijadwalkannya penggeledahan ruang kerja anggota DPR, Al Amin Nur Nasution pada hari senin tanggal 28 april 2008 oleh KPK, Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan bahwa KPK adalah bukanlah lembaga superbody dengan kewenangan kuat tetapi adalah lembaga lex spesialis, dilain hal kenapa KPK dikatakan lembaga superbody? mungkin karena KPK bekerja dari mulai proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan masih tetap satu payung yang seharusnya mungkin untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dipisahkan dengan KPK itu sendiri. Jadi tidak ada praduga bahwa setiap orang yang sudah dijatuhkan status tersangka oleh KPK mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai kepemeriksaan disidang pengadilan tidak ada upaya yang bisa dilakukan oleh tersangka itu sendiri, dan seolah-olah apabila sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maka pupuslah harapan tersangka untuk memperjuangkan nasibnya karena pasti akan divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, karena KPK tidak pernah mengabulkan Permohonan penangguha penahanan tersangka apalagi untuk men SP3 kan perkara.
Pembenaran yang dilakukan oleh DPR atas tindakan KPK diberikan komentar oleh Wakil Badan Kehormatan DPR Topane Gayus Lumbuun bahwa KPK tidak akan mungkin mengenyampingkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kuhap dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tetapi dalam melaksanakan tugas KPK haruslah memerhatikan dan membangun etika hukum.(etika hukum yang seperti apa?)
Tidak DPR saja yang ikut berkomentar tentang kasus suap Al Amin Nur Nasution yang ditangani oleh KPK tetapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melemahkan penanganan korupsi yang dilakukan oleh KPK tersebut dengan mengatakan bahwa aspek pendidikan harus ditekankan sebelum penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Dan beredar juga suara-suara bahwa kewenangan yang dberikan kepada KPK adalah sangat berlebihan maka perlu untuk di bonsaikan atau lebih ekstrim lagi bahwa bubarkan saja KPK. Tetapi apakah iya kita akan bubarkan KPK? Sebuah lembaga independen dan dibentuk khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi dengan mencontoh negara Korea serta Jepang yang sudah dahulu berhasil dalam hal pemberantasan korupsi dengan lembaga ad hoc nya.
Kalau kita lihat sebenarnya kejahatan korupsi ini adalah salah satu kejahatan kerah putih (white collar crime) yang merugikan keuangan negara yang berimplikasi kepada kesengsaraan rakyat, karena uang yang dikorupsi tersebut seharusnya dipergunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat tetapi malah dalam pelaksanaannya dilakukan penyimpangan oleh pejabat penyelenggara negara dengan menyalah gunakan kewenangan/jabatannya (Abuse of Power).
Dengan demikian pejabat negara yang terpilih dari yang dipilih oleh rakyat seharusnya sebelum duduk untuk menjabat sebuah jabatan yang diamanahkan oleh rakyat harus sudah mengetahui dan wajib tahu tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang terutama Korupsi, karena Korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang yang mengemban jabatan dalam sebuah lembaga atau Institusi, jadi sudah benar semua tindakan yang dilakukan oleh KPK dalam hal penanganan perkara sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kuhap dan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Dan tidak perlu lagi di counter oleh DPR ya legowo sajalah, atau memang di DPR tersebut sudah terjangkit semua dengan penyakit yang namanya Korupsi? Karena DPR sebagai wakil rakyat yang akan menyuarakan suara-suara rakyat dari hasil pilihan rakyat itu sendiri, tetapi DPR seakan-akan tidak bergeming dengan penderita yang dialami oleh rakyat sekarang ini.
Kewenangan Diskresi Kepolisian


Diskresi-fungsional
Polisi merupakan salah satu institusi negara sebagai garda terdepan penjaga masyarakat, haruslah terdepan pula mempertahankan integritas moral. Dan dengan landasan moral seyogyanya hukum ditegakkan. Karena “tidak ada orang lain yang paling mempunyai kewajiban suci untuk mentaati dan mematuhi hukum lebih daripada mereka yang pekerjaannya adalah membuat dan menjalankan hukum.” (Sophocles, filosof Yunani).
Polisi sebagai penegak hukum sebagai bahagian dari tugas pokoknya, tetapi apabila polisi dikatakan sebagai pembuat hukum, akan terasa aneh kedengaran ditelinga, khususnya bagi yang terbiasa berpikiran normatif. Mungkin secara sosiologis polisi termasuk pembuat hukum. Selama ini mungkin kita mengenal hakim sebagai pembuat hukum di pengadilan (judge made law). Istilah ini dominan dalam khazanah sistem hukum anglo saxon, karena hakim dengan segenap kapasitas dan otoritas yang diberikan dan dimilikinya boleh menterjemahkan undang-undang untuk mengadili perkara yang dihadapkan padanya. Hasil terjemahan hakim tersebut dituangkan dalam bentuk putusan perkara dan apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Ingkrach) maka akan menjadi sebuah sumber hukum positif dalam bentuk Yurisfrudensi.
Tetapi tindakan polisi dalam aplikasi empiris adalah salah satu bentuk putusan polisi dari menterjemahkan undang-undang, kemudian diterapkan dilapangan dalam tindakan nyata adalah salah satu realitas hukum. Secara sosiologis, perilaku polisi dalam menjalankan hukum adalah hukum itu sendiri. sebagai contoh: orang beranggapan bahwa Polisi lalulintas yang berdiri dijalan sedang mengatur lalu lintas kendaraan bermotor, maka itu dianggap masyarakat awam itu adalah hukum. Karena kenapa tanpa adanya polisi lalu lintas dijalan sebagai wujud nyata penegakan hukum, maka masyarakat yang tidak memiliki kesadaran hukum, akan selalu melakukan pelanggaran peraturan lalulintas dengan tidak mematuhi peraturan lalulintas dimaksud.
Seketika itu posisi polisi seperti hakim, yang memutus perkara yang akan disidangkannya. Lain lagi dengan fungsi polisi dibidang reserse yaitu bagian penegakan hukum di bidang kriminal, hal-hal yang tidak diinginkan secara akal sehat ditemui dilapangan yang menuntut polisi segera bertindak, pilihan tindakan sepenuhnya berada ditangan polisi sebagai pengambil kebijakan dengan menimbang-nimbang kebijakan yang tepat sesuai dengan kekuasaan diskresi-fungsional kepolisian yang diberikan pada polisi. Keadaan pada taraf membahayakan keselamatan publik dan mengancam jiwa polisi itu sendiri, polisi dengan segenap kewenangan yang diberikan undang-undang berhak untuk menggunakan kekuatan (power), karena melihat situasi yang sulit untuk dikendalikan, penggunaan kekuatan dilapangan dianggap mutlak, termasuk perintah tembak ditempat bagi pelaku kejahatan, walaupun akibat dari kebijaksanaan tembak ditempat tersebut yang telah diambil polisi tidak sesuai dengan yang diinginkan masyarakat, dan tindakan polisi tidak lah selalu dikategorikan melanggar HAM dan mungkin didalam situasi tertentu sebaliknya, melindungi kemanusian dari pelaku kejahatan.

Profesionalitas Polisi
Institusi polisi yang diberikan kewenangan dalam menafsirkan hukum sebagaimana hakim yang mengadili perkara yang dihadapkan kepadanya, dalam penggunakan kekuasaan diskresi-fungsional kepolisian dalam bentuk penggunakan kekuatan (power) tidak melebihi batas takaran yang diperbolehkan oleh hukum itu sendiri, sebagaimana yang diatur didalam pasal 31 KUHAP. Hal ini secara internal institusi kepolisian (Bag Paminal) harus melakukan pengawasan yang dikendalikan secara seksama dengan unsur pimpinan kepolisian. Dengan cara diperketat pengawasan internal pada institusi polisi itu sendiri, untuk menghindari polisi dalam penggunaan kekuatan diluar batas proporsinya, yang berimplikasi merugikan masyarakat (publik). Dan dalam beberapa literatur tindakan polisi yang diluar proporsinya disebut juga dengan Police Brutality.
Perilaku polisi yang brutal inilah yang perlu dibenahi oleh Institusi polisi kedalam internal lembaga polisi itu sendiri. Mungkin beberapa kebijakan secara internal kepolisian perlu di keluarkan oleh pimpinan polisi dalam hal pelaksanaan tugas, terutama bagi polisi yang berada dilapangan dengan menggunakan senjata api sebagai alternatif terakhir untuk pertahanan diri dari anggota polisi itu sendiri.
Anggota masyarakat yang harus dilayani polisi dalam tanda kutip, itupun semakin tinggi taraf pemikirannya serta semakin kritis berkat peningkatan pesat dalam teknologi media massa. Informasi sangat cepat tersebar luas melalui jalur media massa, sehingga makin banyak anggota masyarakat yang mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara yang pada gilirannya menyebabkan polisi makin kesulitan untuk melayaninya.
Makin lama masyarakat semakin kritis dengan tugas serta pelayanan yang diberikan oleh polisi, sebagai aparat negara penegak hukum, pelindung dan penganyom masyarakat. Posisi sulit bagi polisi adalah dimana disatu sisi polisi di inginkan masyarakat sebagai mitra untuk membasmi kejahatan itu sendiri bersama sama dengan masyarakat, namun disisi lain polisi juga harus menumpas kejahatan yang terjadi didalam lingkungan masyarakat itu sendiri, dan dimungkinkan pelaku kejahatan itu adalah bahagian dari masyarakat yang akan dilindungi oleh polisi.
Dengan tugas pokok polisi tersebut diatas sebenarnya posisi polisi berada pada posisi yang sulit, menurut Koesparmono Irsan dalam Quo vadis Polisi tahun 1996 mengatakan; pada hakikatnya fungsi setiap polisi dimanapun didunia ini ada tiga yaitu: ketertiban, legalitas dan keadilan (Irsan:1995) di dalam tugas fungsi yang paling dasar inipun sudah mengandung benih konflik-peran. Polisi didalam memerankan fungsinya sebagai penegak hukum atau keadilan ada kalanya polisi menggunakan kekerasan atau pemaksaan, dan mungkin tindakan kekerasan dan pemaksaan itu mungkin menggangu ketertiban, karena memungkinkan adanya pihak lain yang tidak terkait dengan kasus ini akan terlibat atau berpeluang menjadi korban.
Atas perilaku polisi didalam melaksanakan tugasnya tidak dapat kita pungkiri dan tutup mata begitu banyak masyarakat tidak menerima dan menggugat polisi (Publik complain) atas kinerja polisi yang jauh dari profesionalitas sebagaimana diharapkan masyarakat. Untuk itulah institusi polisi kedepan berbenah diri, dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian sesuai dengan prosedur sesuai dengan program tetap (Protap), serta petunjuk pelaksanaan dan petunjuk administrasi (Juklak dan jukminu) Polri sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum positif (UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI).
Kedepan masyarakat sangat mengharapkan kinerja polisi menuju kearah yang lebih baik lagi, menjadi polisi profesional dan proporsional dalam tugas, yang akan menelurkan tindakan polisi produktif, progresif, dengan cara lebih banyak, dengan mangajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam program-program kepolisian dengan pola polmas (pemolisian masyarakat).
Untuk menangani perkara berdimensi baru, institusi polisi perlu melakukan pembenahan secara internal kedalam tubuh polisi itu sendiri. Dengan cara meningkatkan sumber daya manusianya polisi itu sendiri. Khusus dalam menangani perkara Hi-tech, kejahatan kerah putih (white collar crime), pencemaran lingkungan hidup dibuktikan dengan adanya pemanasan global (Global worming) yang sangat merugikan masyarakat dan negara serta lingkungan hidup, yang mengancam bumi tempat kita bernaung sekarang ini.
Menyikapi perkembangan masyarakat yang begitu dinamis mengikuti perkembangan zaman sebagaimana perkembangan teknologi tinggi, dimana jarak menjadi dekat, dunia menjadi kecil, lautan menjadi dangkal, dengan adanya temua-temuan ilmu dan teknologi bagi kemaslahatan manusia hidup didunia ini, disatu sisi perkembangan hukum, khususnya hukum positif selalu statis dan tertinggal jauh dari perkembangan masyarakat yang dinamis tadi, bagaimanapun juga institusi polisi harus mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi tersebut dengan cara melakukan pelatihan terhadap personil polisi, baik secara langsung dengan mengikuti seminar-seminar maupun secara berjangka dengan mengadakan pelatihan-pelatihan untuk mengimbangi segala kejahatan yang mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi tersebut.

Tantangan Polisi kedepan
Perkembangan manusia begitu dinamis, sedangkan perkembangan hukum statis, perkembangan hukum positif tidak bisa mengikuti perkembangan manusia itu sendiri, dibuktikan dengan jauhnya tertinggal aturan hukum positif kita dari perkembangan peradaban manusia sekarang ini, dan ini menjadi salah satu masalah yang dihadapi polisi, dimana polisi diminta untuk profesional sedangkan aturan hukum positif berupa undang-undang yang menjadi dasar bertindaknya polisi belum di revisi seperti KUHP (Lex generalis) begitu juga dengan aturan hukum berupa undang-undang khusus diluar KUHP (lex specialis), Mac Rae mengatakan dalam “The World in 2020” tahun 1994 menyatakan bahwa diabad ke 21 nanti dunia akan menghadapi berbagai hal penting, antara lain; dari negara bangsa ke jaringan (networks), dari pengaturan oleh pemerintah kemekanisme pasar, dari desa-desa ke kota besar, dari padat karya ke teknologi tinggi, dari dominasi pria ke kebangkitan wanita dan lain lain (Susanto,1995 didalam A. Meliala,1996)
Diabad 21 sekarang ini semua hal tersebut telah kita temui, negara seakan-akan tiada batas dengan fasilitas internet yang ada, jarak semakin dekat dengan adanya handpone selular, dan kesemuanya itu mendapatkannya tidak harus dengan uang banyak, tetapi untuk mengoperasikannya tentu perlu ilmu pengetahuan sebagai penunjangnya.
Inti dari semuanya itu adalah telah terjadinya perobahan nilai, norma dan teknologi tinggi (Hi-tec) yang sangat cepat dan pesat sekarang ini, dan polisi juga harus bisa menyesuaikan diri dengan sumber daya manusia polisi dibekali dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi didukung dengan sarana serta prasarana yang ada.
Kejahatan terus berkembang dari bentuk kejahatan konvensional kepada kejahatan kerah putih (white collar crime), yang sudah merajalela dan sudah berurat berakar dari zaman orde-lama dan orde-baru, tetapi setelah zaman reformasi sekarang ini malah kejahatan kerah putih dalam jabatan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya pola pemerintahan dari sentralisasi kepada desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah. Daerah diberi kewenangan untuk mengelola sendiri sumber daya alam yang ada didaerahnya sendiri, didalam penggelolaan SDA daerah tidak mengimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai (skill) maka membuka peluang terjadinya korupsi dalam jabatan, sehingga merugikan keuangan negara.
Inilah salah satu bentuk kejahatan baru yang menjadi tantangan polisi kedepan dengan segenap kewenangan yang dimiliki oleh polisi sebagai penyidik, dan aparat negara penegak hukum dan keadilan, apakah polisi mampu untuk melakukan penindakan terhadap pelaku kejahatan kerah putih yang sudah meraja lela di bumi pertiwi ini?

Rekomendasi
Bagaimanapun juga animo masyarakat masih sangat besar terhadap polisi, walaupun dengan berbagai kekurangan yang dimiliki oleh polisi itu sendiri. Namun demikian polisi juga harus melakukan persiapan diri sejak dini, dengan meningkatkan profesionalitas sumber daya menusia polisi itu sendiri, menjadikan segala kesalahan dimasa lalu menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga, untuk melakukan perubahan dimasa yang akan datang dengan berbenah diri. Menuju kearah yang lebih baik dalam melaksanakan tugas pokok POLRI.










Daftar Pustaka

TB Ronny Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat , sebuah pendekatan kriminologi, hukum dan sosiologi, Jakarta, M2 Print: 2001.

Quo Vadis Polisi/ Adrianus Meliala, Majalah Forum Keadilan,1996


Undang-Undang.

UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kuhap.

UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI