Sabtu, 24 Januari 2009

Dilema Tugas Polisi
(antara dibenci dan dirindu)

Oleh;

BRIPKA Yudikrismen, SH., MH

Abstraksi

Sesuai dengan yang diamanatkan didalam kuhap tentang hukum acara formil adalah proses beracara hukum pidana, dimana sudah diatur tentang kewenangan aparat penegak hukum dari penyidik, penuntut umum sampai dengan Hakim, begitu juga dengan hak-hak seorang tersangka dalam penyidikan ataupun terdakwa di depan sidang pengadilan. Namun demikian untuk mencapai sebuah rasa keadilan didalam proses peradilan dimulai dari penyelidikan hingga penyidikan perkara, hingga menentukan siapa pelaku tindak pidana adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya penyidik, untuk itu penyidik diharuskan profesional dan proporsional dalam melaksanakan tugasnya supaya tidak terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi tersangka sebagai subjek hukum yang diakui undang-undang, dalam proses penyidikan, penyidik perlu membekali diri dengan teknik serta taktik penyidikan kriminil hingga tidak kesulitan untuk mengungkap perkara, hingga menentukan siapa tersangka.

Key work : Ilmu Kriminalistik, hukum pidana formil dan Etika Kepolisian.


Pendahuluan
Sebuah ungkapan mengatakan bahwa ”polisi dibenci dan sekaligus di rindu” inilah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, dan penulis juga beranggapan ini tepat sekali, karena hampir semua anggota elemen masyarakat akan sinis bila topik pembicaraan menyangkut tentang polisi, begitupun juga dengan pakar-pakar yang berbicara diberbagai pertemuan ilmiah ataupun dimedia massa. Akan tetapi bila sebaliknya terjadi, masyarakat sebagai korban sebuah kejahatan yang tidak mempunyai pilihan lain, selain melapor kepada polisi, seperti contoh terjadinya perkelahian ataupun lebih besarnya sebuah keributan yang berimplikasi kepada pembunuhan, bisa dipastikan ada saja masyarakat yang berteriak dengan lantangnya ditengah-tengah kerumunan masyarakat mengatakan ”panggil polisi”
Sebenarnya tugas polisi begitu komplit dan tidak bisa dipersamakan dengan tugas-tugas pegawai negeri sipil yang juga duduk dan bekerja di lembaga Birokrat atau eksekutif lainnya. Tugas polisi adalah 1 x 24 jam, seketika masyarakat sedang tidur nyenyak, polisi harus berpatroli mengitari kota, wilayah pemukiman penduduk yang rawan, rumah pejabat negara, instansi-instansi pemerintah, tempat-tempat yang vital, serta dimana kumpulan preman yang juga sering meresahkan masyarakat akan segera dibubarkan dengan segala resiko yang harus dihadapi polisi.
Hal sekecil apapun yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat, bisa dikategorikan menjadi tugasnya polisi, contohnya sepasang suami istri saja yang ribut didalam rumah tangganya, dan permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan baik akhirnya diselesaikan juga oleh polisi, jadi tidak ada batasan yang jelas tentang tugasnya polisi.
Didalam melaksanakan tugasnya polisi juga harus siap meninggalkan anak istrinya dirumah, dan seketika masyarakat bergembira ria merayakan pesta, lebaran ataupun tahun baru, dengan segala resiko pekerjaannya polisi harus berada untuk menjaga keamanan dan ketertiban supaya lancarnya pelaksanaan acara. Jika cuaca hujan lebat seorang polisi harus berbasah kuyup mengatur lalulintas dijalanan yang sedang macet, dan polisi mendapatkan telpon dari masyarakat tentang adanya ancaman bom di mall, super market serta gereja dll, polisi harus selalu siap dan dalam waktu yang sesegera mungkin harus berlarian mendatangi tempat kejadian perkara yang mungkin membahayakan diri polisi itu sendiri, tetapi demi tugas serta tanggung jawab dan komitmen menjadi seorang polisi.
Dengan demikian, hal yang menarik untuk mengkaji apakah tugas pokok serta tanggung jawab polisi terhadap bangsa dan negara ini? Serta bagaimanakah sistem kerja polisi dilapangan dalam aplikasi pelaksanaan tugas polisi yang ideal sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini?

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi landasan yuridis formil polisi dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawab sebagai aparatur negara ditengah-tengah masyarakat?
2. Sejauhmanakah peranan ilmu kriminalistik dalam upaya penegakan hukum dapat membantu pelaksanaan tugas polisi?

Landasan teoritis
Secara umum mungkin masyarakat awam menilai bahwa tugas polisi adalah menangkap orang jahat atau pelaku kriminil, dan juga secara nyata dilihat langsung oleh masyarakat tuga polisi adalah mengatur lalulintas dijalan raya supaya tidak terjadi kemacetan disamping itu juga mengamankan bank-bank dari upaya perampokan yang akan terjadi serta masih banyak yang lainnya, dan kalau terjadinya keributan dalam bentuk sekecil apapun ditengah-tengah masyarakat dan pertengkaran kecil tersebut tidak bisa diselesaikan secara damai atau musyarawah dan mufakat ditingkat RT (rukun tangga) maupun tingkat RW (rukun warga) sebagai aparat birokrat level terbawah yang secara langsung mewadahi aspirasi masayarakat, maka penyelesaiannya selalu akan bermuara kepada polisi.
Sebenarnya tidak sampai disitu saja tugasnya polisi, secara legitimasi hukum, tugas pokok polisi dijelaskan didalam rumusan pasal 5 UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia , yaitu; menjaga keamanan dan ketertiban umum, Aparat penegak hukum serta sebagai pelindung, penganyom, dan pembimbing masyarakat. Dalam hal penegakan hukum posisi penyidik polisi diatur dalam Kuhap , sebelum diundangkan Kuhap tanggal 31 desember 1981 sebagai undang-undang, secara hukum formil polisi masih menggunakan H.I.R (Herziene Inglander Reglement) yaitu aturan acara hukum formil peninggalan penjajah Belanda, dimana lebih mengarah kepada pencarian untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari seorang tersangka, maka sudah cukup untuk pembuktian sebuah perkara di Pengadilan bagi Hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang diduga melakukan sebuah kejahatan.
Sebelum UU RI No. 8 tahun 1981 tentang Kuhap disahkan sebagai undang-undang, H.I.R (Herziene Inglander Reglement) masih dipergunakan dalam acara hukum formil kita, hal ini dilakukan hanyalah supaya jangan terjadinya kekosongan hukum dalam hal acara formil hukum pidana, sebenarnya substansi dari H.I.R (Herziene Inglander Reglement) hanya untuk mencari sebuah pengakuan tersangka saja dalam pembuktian perkara pidana, celah hukum seperti ini dimanfaatkan oleh penyidik sebatas hanya mencari sebuah pengakuan dari seorang yang diduga sebagai pelaku kriminil dengan menghalalkan segala cara dan tanpa usaha serta kerja yang berat, bisa jadi dengan melakukan penganiayaan untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari tersangka.
Sebenarnya Undang-undang adalah merupakan suatu implementasi dari sebuah kontrak sosial, pembentukan undang-undang ”memelopori” perubahan-perubahan dalam masyarakat dan polisi hanyalah aparat negara penegak hukum yang bertugas menjalankan sebuah undang-undang sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah, dan keberadaan polisi tidak terlepas dari pada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang itu sendiri, maka suatu kesalahan yang terjadi, yang dilakukan oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya adalah penjelmaan sisi lemah hukum dalam undang-undang itu sendiri .
Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 setelah di amandemen menegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara hukum. Dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah Negara hukum, yang mana didalam konstitusi Indonesia telah menempatkan hukum dalam posisi yang suprime dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, berarti bahwa dalam praktek ketatanegaraan Indonesia seluruh aspek kehidupan diselenggarakan berdasarkan hukum, dan hukum menjadi suatu titik sentral semua aktifitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Polisi sebagai bagian dari struktur hukum dalam proses penyelenggara negara, polisi terikat pada aturan-aturan hukum dan prosedur-prosedur tertentu serta dikontrol dan bertanggung jawab kepada hukum.
Polisi selaku struktur hukum dalam proses penyelenggara negara didalam penegakan hukum mengacu kepada UU RI No. 8 tahun 1981 tentang Kuhap. Dan Kuhap itu sendiri dirancang dan diundangkan adalah diambil dari nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila yang tertuang didalam UUD 1945 yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai demokrasi dan nilai sosial masyarakat. Karena pancasila adalah menjadi sumber dari segala sumber hukum. Selaras dengan itu seorang guru besar fakultas Hukum UIR (universitas islam riau) yaitu Prof. Kosnoe mengatakan bahwa; Pancasila tersebut adalah sebagai ”rechtsidee” merupakan benih-benih konsep ideologi yang dijiwai oleh pirit pemerdekaan” dari segala bentuk penjajahan atas bangsa. Jika ditarik ke dalam konsep kekuasaan judicial yang dijalankan oleh badan peradilan, maka peradilan merupakan proses pengejewantahan dan aktualisasi dari spirit melawan penjajah .
Untuk dapat menjerat pelaku kriminil secara hukum materiil, maka penyidik mengacu kepada alat bukti dalam kuhap sebagaimana diatur dalam pasal 184 Kuhap menyatakan bahwa yang dikatakan dengan alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan Ahli, bukti surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selanjutnya untuk bisa menjadikan seseorang menjadi tersangka didalam proses penyidikan perkara, maka penyidik harus membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tersangka telah memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud didalam rumusan pasal 183 Kuhap. Didalam pembuktian perkara pidana keterangan terdakwa dijadikan alat bukti yang paling akhir dari semua alat bukti? (pasal 184 kuhap), walaupun demikian penyidik juga harus memahami sifat dasar hukum acara pidana yang mengekang hak asasi manusia, karena yang ditangkap dan ditahan belum tentu pelaku kejahatan, oleh karena itu harus dibutuhkan sifat kehati-hatian dan kecermatan dalam menghadapi suatu kasus .
Untuk itu, apakah setiap pelaku kejahatan seperti tersangka atau terdakwa dianggap apriori sebagai orang jahat , dan dapatkan dilakukan sebagai objek pemerasan, penganiayaan dan pembalasan dendam sebagaimana didalam H.I.R (sebelum kuhap diundangkan), dimana dalam sistem hukum yang dipergunakan pendekatan ”inkuisitur” yang melihat posisi tersangka tidak lebih dari sebuah objek pemeriksaan yang dapat diberlakukan secara sekehendak hati oleh aparat penegak hukum?. Hak asasi mereka dicampakkan dan mereka seolah-olah dianggap sebagai seonggok kotoran yang sangat menjijikan dan sampah masyarakat yang bisa diperlakukan secara sewenang-wenang.
Hak-hak tersangka dan terdakwa didalam Kuhap sudah dilindungi, dimana didalam kuhap menerapkan prinsi-prinsip yang diartikan sebagai patokan hukum yaitu asas legalitas yang disebutkan dalam konsideran Kuhap, yang dapat dibaca pada huruf a berbunyi; ”bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 45 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukan didepan hukum dan didalam pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tanpa terkecuali. Penerapan pelaksanaan kuhap harus bersumber dengan titik tolak rule of law semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan hukum dan undang-undang dan menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya, sehingga terwujud kehidupan berbangsa dalam masyarakat dibawah ”supremasi hukum”.
Dalam asas legalitas, aparat penegak hukum tidak dibenarkan untuk bertindak diluar ketentuan hukum atau Undue to law maupun undue proces, bertindak sewenang-wenang atau Abuse of power, karena setiap orang baik tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum atau equality before the law, mempunyai kedudukan ”perlindungan” yang sama oleh hukum equal protection on the law, mendapatkan perlakukan keadilan yang sama dibawah hukum equal justice under the law
Asas kedua adalah mengenai asas keseimbangan, dimana penegak hukum harus berlandaskan asas keseimbangan yang serasi, yaitu perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat, serta juga penegak hukum harus menerapkan asas equality before the law yaitu asas praduga tidak bersalah, dimana aparat penegak hukum harus berasumsi kepada pelaku kejahatan atau tersangka maupun juga terdakwa, bahwa sebelum adanya vonis pengadilan yang ingkrach, maka terdakwa belum bisa dianggap bersalah oleh hukum. Secara teknis yuridis penyidikan perkara bahwa dinamakan ”prinsip akusatur” atau accusatory procedure dimana menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek hukum, dan yang menjadi obejk pemeriksaan adalah “kesalahan” atau tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa.
Selanjutnya, Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah sebagaimana diatur dalam rumusan pasal 4 ayat 2 Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman No. 14/1970, yang menghendaki proses penegakan hukum di Indonesia dengan cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan dan tidak bertele-tele. Dimana dalam proses pemeriksaan perkara aparat penegak hukum jangan menjadikan setiap perkara tersebut terselip kepentingan pribadi dari aparat penegak hukum, sehingga terinjaknya harkat dan martabatnya manusia sebagai seorang tersangka/terdakwa.

Pembahasan
Dalam melakukan tindakan kepolisian dibidang penegakan hukum, khususnya penyidikan perkara, penyidik harus memiliki sumber daya manusia yang baik denga menguasai teknik serta taktik penyidikan. Didalam literatur disebut juga dengan istilah kriminalistik yaitu salah satu teknik dan taktik dari penyidikan perkara, demi untuk membuat terang sebuah perkara kriminil. Dalam proses pengungkapan sebuah kasus kriminil, apalagi pelakunya tidak diketahui siapa orangnya dan pelaku kejahatan hanya meninggalkan bekas-bekas kejahatan ditempat kejadian perkara.
Sebenarnya, Ilmu kriminalistik ini termasuk ilmu baru dan belum begitu diminati oleh praktisi hukum, akademisi, maupun penyidik polisi sendiri. Yang berkembang pada awal abad ke 20 yang dipelopori oleh Hans Grosz dari Austria, Locard dari Prancis, e Rechter dari Belgia.
Didalam proses mengungkap sebuah kasus kriminil tentu tidak segampang yang kita banyangkan dalam cerita-cerita heroik dikomik dan film-film, tentu ada metode penyidikan yang harus dipelajari oleh seorang penyidik profesional, supaya jangan terjadi kesalahan dalam menentukan dan menetapkan seseorang sebagai pelaku kejahatan, sehingga terjadi pelanggaran hak asai manusia yang berimplikasi kepada kesesatan putusan hakim, Istilah mengatakan bahwa ”lebih baik melepaskan seratus orang yang bersalah daripada menahan satu orang yang tidak bersalah” untuk itu, belajar dari pribahasa tersebut, tentu banyak nilai pelajaran yang bisa kita ambil.
Dalam proses penyidikan sebuah perkara kriminil, yang tidak diketahui siapa pelakunya, dan hanya meninggalkan bekas-bekas kejahatan di Tempat kejadian perkara (TKP), maka penyidik polisi didalam mengungkap siapa pelaku sebenarnya, perlu di bantu dengan beberapa ilmu lainnya antara lain adalah: ilmu alam, ilmu kimia, ilmu kedokteran kehakiman, ilmu hukum, ilmu racun (forensik), ilmu balistik, ilmu matematik, ilmu sosial dan masih banyak ilmu lainnya . Walaupun secara hukum acara formil menentukan batasan-batasan hak –hak tersangka yang harus diperhatikan dan dilindungi sesuai dengan asas- asas hukum , namun hal demikian tidak harus menyurutkan semangat penyidik untuk bisa membuktikan siapa pelaku kriminil yang sebenarnya dan harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dihadapan hukum. Sebenarnya secara spesifik mengenai proses penyidikan tidak ada diatur secara mendetail dalam hukum acara formil, apalagi ketentuan hukum kapan seseorang bisa di jadikan statusnya sebagai seorang tersangka, hal ini diserahkan kepada kenyakinan penyidik. Didalam menjatuhkan posisi seseorang sebagai pelaku kriminil dengan memberi status tersangka, tentu seorang penyidik harus mempunyai sebuah kenyakinan sesuai dengan pasal 183 kuhap yaitu minimal 2 (dua) alat bukti harus bisa di buktikan dalam proses penyidikan perkara dimaksud dalam pasal 184 kuhap yaitu tentang alat bukti. Karena keterangan saksi saja tidak cukup untuk bisa membawa tersangka dihadapan sidang pengadilan, maka harus di tambah dengan bukti lain berupa, keterangan Ahli, Petunjuk, Bukti surat, serta Keterangan terdakwa itu sendiri ihadapan sidang pengadilan.
Ilmu bantu yang dimaksud dalam ilmu kriminalistik diatas adalah dapat dipergunakan sesuai dengan porsi kasusnya. Hal mana terjadi suatu perkara pembunuhan, maka ilmu bantu yang dibutuhkan adalah yang berhubungan dengan keahlian dari disiplin ilmu kedokteran kehakiman yang mengarah keada Otopsi atau bedah mayat , dimana bisa ditentukan sudah berapa lamakah korban meninggal dunia? Dengan cara bagaimanakah korban tersebut dibunuh? Hal-hal apakah yang menyebabkan korban meninggal? Apakah alat yang dipergunakan pelaku dalam melakukan kejahatan? Dan pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus ditimbulkan oleh penyidik itu sendiri dengan dikaitkan fakta riil dilapangan (TKP) dan yang harus di kejar dalam hal pembuktian perkara adalah hal yang berkaitan dengan perkara, sebagaimana diatas sudah disebutkan bahwa penyidik harus jeli dengan bekas-bekas kejahatan yang ditinggalkan pelaku kejahatan di tempat kejadian perkara (TKP), dan seorang penyidik jangan menganggap remeh hal sekecil apapun yang ditemukan di tempat kejadian perkara, karena dari hal-hal yang kecil akan bisa mengungkap hal yang besar yaitu pelaku kejahatan yang sedang dicari itu sendiri.
Seorang penyidik dalam hal penyidikan perkara tidak cukup dengan teknik kriminil yang didapatkan melalui pendidikan kepolisian secara umum saja, tetapi juga harus dibantu dengan taktik penyidikan perkara dan harus disertai dengan akal yang cerdik, keterampilan seperti inilah yang disebut dengan taktik penyidikan atau taktik penangkapan, taktik penggeledahan, taktik mendengar keterangan saksi dan tersangka yang merupakan pekerjaan khusus penyidik , yang termasuk dalam bidang takti penyidikan antara lain:
1. tindakan pertama di TKP;
2. pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka;
3. mencari informasi melalui informan/spionase ;
4. undur cover / penyamaran ;
5. eliciting / pembuntutan ;
6. memberikan hadiah kepada orang yang menemukan pelaku;
7. pelajari bahasa sandi penjahat, takhayul, jimat;
8. dll.
Selanjutnya, sistem penyidikan dalam proses pemeriksaan saksi ataupun tersangka adalah dengan mengunakan sistem pertanyaan 7 (tujuh) kah yaitu tentang; Apakah yang terjadi? Pertanyaan ini mengenai persoalan, macam peristiwanya, Dimanakah perbuatanh itu dilakukan yang berorientasi kepada locus delicty perkara, Bilamanakah perbuatan dilakukan? Mengarah kepada Tempu delicty yaitu waktu kejadian perkara terjadi, Dengan Apakah perbuatan dilakukan? Mengarahkan kepada apakah alat yang dipergunakan sipelaku dalam melakukan perbuatan kriminil?, Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan? Menuju kepada cara pelaku dalam melakukan perbuatan kriminil, Mengapakah perbuatan dilakukan? Yaitu apa alasan-alasan dari pelaku kriminil dalam melakukan kejahatan hingga terjadinya korban jiwa, dan Siapakah yang melakukan? Pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang mengarah kepada sipelaku kejahatan itu sendiri, aklau pemeriksaan sedang dilakukan terhadap saksi ataupun korban kejahatan. Untuk beberapa negara eropa juga menggunakan bentuk pertanyaan berupa ; 7 W yakni; Who, What, Why, When, With, What Time, Where. Yang orientasinya juga sama yaitu mengejar kearah pelaku kejahatan.
Ilmu kriminalistik dapat dikatakan juga sebagai langkah praktis pekerjaan penmyidikan yang dilakukan polisi untuk mengungkap perkara kejahatan guna mencari pelakunya, kalau kita sudah mempelajari serta memahami tentang ilmu kriminalistik maka kita akan mengetahui mengetahui cara tugas polisi dalam menangani sebuah perkara pidana, kesulitan apa yang dihadapi dalam penyidikan untuk mencari pelaku kejahatan.
Didalam Teknik penyidikan mengajarkan tentang menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pengusutan perkara kejahatan, diantara lain adalah; pengetahuan tentang hukum pidana formil dan materiil termasuk juga ilmu kepolisian, untuk mencari sebuah pembuktian dibutuhkan ilmu pembuktian, metode pengusutan perkara, yang mencari bekas-bekas psikis dan bekas-bekas pisik yang tertinggal setelah kejadian, dengan menggunakan alat-alat bantu berupa fotografi, mikroskop, taperecorder dll. Memiliki pengetahuan identifikasi, ilmu jiwa dan juga didukung dengan pengetahuan bahasa .
Untuk dapat diterima masyarakat luas beban pekerjaan polisi ini, maka tidak terlepas polisi juga manusia, yang juga penuh dengan segala kekurangan, maka polisi itu sendiri juga harus menggunakan etika kepolisian dalam hal bertindak dalam proses penyidikan, pendapat Drs. Soemoenoe dalam buku Etika Kepolisian (Kunarto;1997) mengatakan; bahwa etika kepolisian disamakan dengan etika khusus atau etika terapan, juga bersumber dari etika umum dengan semua normanya, seperti berbuat baik, tidak merugikan, menghormati otonomi manusia, kejujuran, keadilan dan lain-lain, yang diterapkan dalam eksistensi Polisi dalam semua tugasnya termasuk didalamnya penyidikan perkara kejahatan. Didalam aplikasi tugasnya polisi secara khusus, polisi lalulintas misalnya; dapat ditambahkan dengan unsur keamanan dan kelancaran berlalu lintas, dan bagi reserse dapat ditambahkan dengan unsur kecepatan dan ketetapan serta kebenaran dan keadilan penyelesaian perkara.
Maksud dari rumusan diatas tercakup dalam pemikiran bahwa ;
1. Norma perilaku; bermakna petunjuk tentang ukuran baik dan buruk bagi pelaku atau pelaksana;
2. Polisi; bermakna kepolisian sebagai pejabat, sebagai organ negara;
3. Pedoman untuk mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi masyarakat, sebagai wujud pengabdian terbaik;
4. Penegak Hukum, ketertiban dan kemanan; bermakna tentang misi preventif, pre-emtif dan represif.
Kaitan antara etika kepolisian dengan pelaksanaan tugas polisi itu sendiri adalah dimana digambarkan bahwa etika kepolisian adalah perilaku etis dari setiap polisi dalam semua bentuk penugasan, agar semua tugas dapat terlaksana secara baik sehingga terwujud kondisi dan rasa aman dalam masyarakat serta dengan derajat tinggi dilingkungan masyarakat atas pelanksanaan tugas yang telah dilakukan. Orientasinya kepada masyarakat adalah, bahwa polisi yang bekerja sesuai dengan etika yang ada akan berimplikasi kepada masyarakat yang taat hukum dan partisipatif pada usaha mewujudkan ketertiban dan keamanan.

Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 5 UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah diatur tentang tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu; menjaga keamanan dan ketertiban umum, Aparat penegak hukum serta sebagai pelindung, penganyom, dan pembimbing masyarakat. Polisi sebagai aparat penegak hukum didalam pelaksanaan tugas diatur dengan hukum formilnya yaitu UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kuhap, yang mana mengatur tentang pelaksanaan tugas polisi sebagai penyidik. Tiada lain semua aturan formil ataupu materiil dibuat sebagai penunjang tugas polisi menuju kearah profesionalitas dan proporsionalitas, serta didalam hal penyidikan perkara kejahatan polisi harus dibekali dengan Ilmu Kriminalistik yaitu ilmu penyidikan kejahatan tentang teknik dan taktik penyidikan perkara untuk mengetahui siapa pelaku kejahatan, sehingga pelaku kejahatan tersebut bisa dituntut dihadapan sidang pengadilan dengan hukuman seberat-beratnya. Tidak ahanya sampai disitu polisi juga harus dibekali dengan etika kepolisian dalam bertindak ditengah-tengah masyarakat supaya tercapai polisi yang dicintai dan dirindukan oleh masyarakat.

1 komentar:

  1. Perihal butir 5. eliciting / pembuntutan

    Eliciting lebih tepat diterjemahkan sebagai elisitasi atau pemancingan. Ini salah satu teknik mendapatkan keterangan melalui pembicaraan dengan sasaran, dimana pihak sasaran tidak menyadari bahwa ia sedang dimintai keterangan.

    (http://www.kamushukum.com/kamushukum_entries.php?_elisitasi%20intelijen_&ident=769)

    BalasHapus