Sabtu, 24 Januari 2009

KEJAHATAN KORPORASI
DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
Oleh
Bripka Yudikrismen, S.H., M.H


Perilaku korporasi.
Perilaku menyimpang korporasi (corporate misconduct), entah berupa kejahatan kerah putih (white colar crime), kejahatan korporasi (corporate crime), perilaku tidak etis, melakukan pelanggaran terhadap peraturan, senantiasa menjadi perhatian mengingat angka kerugian yang ditimbulkan korporasi yang begitu besar. (A.Meliala;1993)
Bahkan jika benar korporasi berjiwa sebagaimana manusia dalam hal pertanggung jawaban pidana yaitu adanya mens rea, dan diikuti dengan perbuatan berupa mens prohibita, maka terjadilah kejahatan. Yakni dalam upaya “menimbulkan derita” seberat-beratnya dalam tubuh korporasi yang melakukan penyimpangan berupa pertanggung jawaban pidana dimaksud. Pemikirannya adalah bahwa setelah didera maka jiwa korporasi yang “kotor” akan bersih kembali serta akan membuat jera korporasi untuk melakukan penyimpangan kembali.
Namun itu tidak mudah. Salah satu adalah tidak maunya korporasi yang bersedia memikul tanggung jawab (accountability) atas perilaku korporasi. Terlepas dilakukan secara illegal atau tidak perbuatan menyimpang itu, bila tindakan korporasi dalam mencari dan mengejar keuntungan akhirnya terpuruk pada kondisi tertentu yang menuntut pertanggung jawaban etika, moral dan hukum, tentunya ada seseorang yang bertanggung jawab.
Belum terjawab permasalahan diatas sudah muncul permasalahan kedua, yang mana dalam struktur korporasi yang semakin membesar, bertendensi konglomerasi, otonom, padat modal, global, joint sharing, dan lain lain. Dalam korporasi individu hanyalah sebagai unit saja, tetapi tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhi unit tersebut berprilaku menyimpang tidak semestinya. Sejauh ini faktor kepribadian, kesempatan serta situasilah yang diduga kuat menjadi penyebab penyimpangan dilakukan korporasi.

Bentuk kejahatan korporasi.
Motif ekonomi dari sebagian korporasi untuk memperoleh keuntungan dan kekayaan besar-besaran dengan menimbulkan kerugian besar kepada warga masyarakat, negara dapat dilakukan melalui perbuatan atau kejahatan terselubung dengan modus operandi yang halus. Dan memanfaatkan teknologi canggih, merusak mental pejabat atau birokrat. Apabila hal ini tidak ditindak lanjuti dengan penegakan hukum, maka kejahatan korporasi akan terus berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan manusia. Dalam hal ini Aparatur yang berhubungan langsung dengan segala kegiatan korporasi harus waspada, karena korporasi akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan korporasi itu sendiri yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Aparatur negara yang mental koruptor dan moralitas kurang serta tidak ada rasa tanggung jawab akan terkontamisasi dengan perilaku korporasi menyimpang dimaksud. Kejahatan korporasi tidak saja menimbulkan korban negara tetapi juga lingkungan seperti sumber daya alam (air, tanah, udara, flora, dan fauna) maupun sumber daya manusia (pekerja, konsumen, dan masyarakat). (Setiyono;2002)
Hukum yang ada tidak dapat mengimbangi secara memadai tekanan organisasional yang terselubung guna memperoleh keuntungan maksimal, hal mana sebenarnya menjadi akar penyebab dari kejahatan korporasi itu sendiri.
Suatu upaya manipulasi atas pembayaran yang didasarkan atas prestasi, misalnya dapat merangsang tindak illegal. Demikian pula struktur korporasi yang desentralisasi kerap menyulitkan guna menemukan seseorang yang bisa menjadi biang keladi melakukan kejahatan korporasi didalam korporasi itu sendiri. Psikolog mengatakan orang lebih cenderung untuk mengambil resiko ketika berada dalam kelompok dibandingkan sendirian.

Pertanggung jawaban korporasi dalam hukum pidana Indonesia.
Dalam pertanggung jawaban pidana terdapat dua pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis, untuk pandangan monistis di dikemukakan oleh simons yang merumuskan “straafbaarfeit” sebagai een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handelin van een torekeningvatbar persoon. Artinya; suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, yang bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Meliputi baik unsur-unsur perbuatan, yang lazim disebut unsur obyektif, maupun unsur-unsur pembuat yang lazim dinamakan unsur subyektif.
Penganut pandangan monistis tentang straaf bar feit atau criminal act berpendapat dengan unsur-unsur pertanggung jawaban pidana; kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas, sengaja dan atau kealpaan dan tidak adanya alasan pemaaf.
Lain lagi pandangan dualistist yang menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang seketika itu berkuasa, yang dinamakan “obyektif schuld” karena kesalahan dipandang sebagai sifat dari kelakukan, dan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan korporasi sebagai unitnya adalah individu terlebih dahulu harus dibuktikan adanya “strafbaar handlung” atau “perbuatan pidana”, lalu sesudah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subyektif pembuat.
Mengenai sifat pertanggung jawaban korporasi, terdapat sistem-sistem sebagai berikut (Muladi:1991);
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengguruslah yang bertanggung jawab.
b. Korporasi sebagai pembuat dan penggurus bertanggung jawab,dan
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Dalam hal unit/individu sebagai pembuat dan penggurus korporasi lah yang bertanggung jawab, kepada penggurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan sebenarnya adalah kewajiban korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapus pidana, sedangkan dasar pemikiran adalah; korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana terhadap suatu perbuatan pidana atau pelanggaran, melainkan selalu penggurusnya lah yang diancam pidana dan dipidana.
Ketentuan dalam KUHP menganut subyek dalam hukum pidana adalah orang , hal itu sebagaimana ditegaskan dalam pasal 59 KUHP, kalau dihubungkan dengan tahap-tahap perkembangan korporasi merupakan tahap pertama, yaitu pertanggung jawaban korporasi belum dikenal, karena pengaruh yang sangat kuat asas “societas delinguere non potest” yaitu badan badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas “universitas delinquere non potest” artinya badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana.
Di Indonesia sejak tahun 1951 korporasi sudah dimasukkan sebagai subjek hukum pidana yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Darurat tentang Penimbunan Barang, dan kemudian diikuti dengan Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang Pencucian Uang. Namun demikian belum ada putusan pengadilan pidana (Yurisfrudensi) yang menvonis korporasi sebagai pelaku kejahatan sampai sekarang ini.

Pertanggung Jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Anglo-Amerika.

Praktisi peradilan di Amerika Serikat untuk mengatasi kejahatan korporasi mengunakan langkah-langkah (Adrianus meliala;1993) :
Pertama; agar pelaku dipermalukan didepan umum dan pihak kongres lebih ingin menghadirkan pelaku kejahatan korporasi kedepan sidang secara langsung, dan menolak bila wakilnya yang datang. Para penuntut umum diharapkan lebih bersedia “menelanjangi” para eksekutif dimuka pengadilan dari pada mengajukan tawaran denda. Orientasinya adalah supaya pelaku kejahatan korporasi itu sendiri merasa dipermalukan, dengan tujuan penjeraan terhadap pelaku lain.
Kedua, pengucilan eksekutif, yaitu dilepaskan haknya untuk bekerja disemua perusahaan, kalau di Indonesia seperti hak politik direcall atau menarik anggota partainya yang duduk di DPR karena suatu sebab. Sampai tingkat tertentu praktik “pengucilan” ini konon efektif guna meredam kejahatan korporasi.
Ketiga, denda yang berat yang diberikan kepada korporasi, karena kejahatan ekonomi pasti dilatar belakangi dengan tujuan ekonomis. Termasuk disini memperhitungkan bahwa aksi mereka sekali waktu akan terbongkar serta memperhitungkan bahwa selalu harus tersedia dana untuk membayar denda atau “membungkam” petugas yang membongkar kasusnya.
Keempat, pelayanan (community-service) sebagai alternatif lain yang berwenang memberi diskresi putusan, dengan memberikan hukuman pelayanan masyarakat kepada perusahaan (community service-sentences). Pendekatan ini dilakukan terhadap kejahatan Lingkungan. Hukuman ini mengharuskan korporasi menyediakan sarana umum sebagai pengganti kerugian, keharusan memperbaiki jalan lingkungan yang rusak akibat dilindas truk proyek.
Kelima, kewenangan yuridis guna meninjau aktivitas korporasi. Sekali suatu perusahaan ditemukan telah melanggar hukum, pengadilan via penuntut umum berkewenangan untuk melakukan perubahan yang spesifik dalam prosedur dan aktivitas bisnisnya.
Keenam, menghilangkan kemampuan untuk menyangkal (no deniability shield) maneger puncak seharusnya tidak lupa bahwa posisinya tidak membuat dirinya bebas dari tanggung jawab. Karena semua informasi tidak semua sampai kepada top manager, maka seketika terjadi masalah top manager selalu menyangkal dengan mengatakan tidak mengetahui apa yang diperbuat anak buahnya.
Perkembangan pemidanaan terhadap kejahatan korporasi yang diberlakukan dinegara Anglo-Amerika sudah diberlakukan. Terhadap pelaku kejahatan korporasi serta badan hukum berupa korporasi itu sendiri. Semua upaya yang dilakukan oleh lembaga pengadilan atas bentuk penghukuman kepada korporasi beserta penggurus yang melakukan kejahatan korporasi adalah bertujuan untuk membuat jera pelaku kejahatan korporasi dimaksud.

Siapa yang salah
Begitu bebasnya korporasi melakukan aktifitas bisnisnya untuk mencapai hasil ekonomi yang maksimal dengan tanpa memperhatikan akibat kerusakan yang akan timbul terhadap masyarakat, konsumen, dan juga negara. Beberapa kasus korporasi yang terjadi, belum mampunya lembaga penegakan hukum konvensional untuk memberhentikan derap langkah korporasi. Apalagi menindak perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri. Salah satu sebab mungkin belum tercakupnya perbuatan menyimpang berupa kejahatan pidana yang dilakukan korporasi didalam ketentuan hukum positif kita, secara nyata akan mempersulit aparat penegak hukum melakukan penindakan represif, karena negara kita adalah negara hukum, memakai mazhab positivisme, dengan dasar asas legalitas (Nullum delictum nulla poena preciea lege poenali) yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHPidana.
Kita tidak dapat bayangkan, bagaimana kehidupan anak cucu kita, bangsa kita dan bahkan bumi kita sepeninggal kita nantinya. Realitanya sekarang ini, akibat nyata kejahata korporasi adalah terjadinya pemanasan global (global worming) siapakah yang harus dipersalahkan..?

Bripka Yudikrismen, S.H., M.H.
Anggota Sat II Dit Reskrim Polda Riau, serta
Dosen Hukum dan Kriminologi UIR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar