Sabtu, 24 Januari 2009

Kewenangan Diskresi Kepolisian


Diskresi-fungsional
Polisi merupakan salah satu institusi negara sebagai garda terdepan penjaga masyarakat, haruslah terdepan pula mempertahankan integritas moral. Dan dengan landasan moral seyogyanya hukum ditegakkan. Karena “tidak ada orang lain yang paling mempunyai kewajiban suci untuk mentaati dan mematuhi hukum lebih daripada mereka yang pekerjaannya adalah membuat dan menjalankan hukum.” (Sophocles, filosof Yunani).
Polisi sebagai penegak hukum sebagai bahagian dari tugas pokoknya, tetapi apabila polisi dikatakan sebagai pembuat hukum, akan terasa aneh kedengaran ditelinga, khususnya bagi yang terbiasa berpikiran normatif. Mungkin secara sosiologis polisi termasuk pembuat hukum. Selama ini mungkin kita mengenal hakim sebagai pembuat hukum di pengadilan (judge made law). Istilah ini dominan dalam khazanah sistem hukum anglo saxon, karena hakim dengan segenap kapasitas dan otoritas yang diberikan dan dimilikinya boleh menterjemahkan undang-undang untuk mengadili perkara yang dihadapkan padanya. Hasil terjemahan hakim tersebut dituangkan dalam bentuk putusan perkara dan apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Ingkrach) maka akan menjadi sebuah sumber hukum positif dalam bentuk Yurisfrudensi.
Tetapi tindakan polisi dalam aplikasi empiris adalah salah satu bentuk putusan polisi dari menterjemahkan undang-undang, kemudian diterapkan dilapangan dalam tindakan nyata adalah salah satu realitas hukum. Secara sosiologis, perilaku polisi dalam menjalankan hukum adalah hukum itu sendiri. sebagai contoh: orang beranggapan bahwa Polisi lalulintas yang berdiri dijalan sedang mengatur lalu lintas kendaraan bermotor, maka itu dianggap masyarakat awam itu adalah hukum. Karena kenapa tanpa adanya polisi lalu lintas dijalan sebagai wujud nyata penegakan hukum, maka masyarakat yang tidak memiliki kesadaran hukum, akan selalu melakukan pelanggaran peraturan lalulintas dengan tidak mematuhi peraturan lalulintas dimaksud.
Seketika itu posisi polisi seperti hakim, yang memutus perkara yang akan disidangkannya. Lain lagi dengan fungsi polisi dibidang reserse yaitu bagian penegakan hukum di bidang kriminal, hal-hal yang tidak diinginkan secara akal sehat ditemui dilapangan yang menuntut polisi segera bertindak, pilihan tindakan sepenuhnya berada ditangan polisi sebagai pengambil kebijakan dengan menimbang-nimbang kebijakan yang tepat sesuai dengan kekuasaan diskresi-fungsional kepolisian yang diberikan pada polisi. Keadaan pada taraf membahayakan keselamatan publik dan mengancam jiwa polisi itu sendiri, polisi dengan segenap kewenangan yang diberikan undang-undang berhak untuk menggunakan kekuatan (power), karena melihat situasi yang sulit untuk dikendalikan, penggunaan kekuatan dilapangan dianggap mutlak, termasuk perintah tembak ditempat bagi pelaku kejahatan, walaupun akibat dari kebijaksanaan tembak ditempat tersebut yang telah diambil polisi tidak sesuai dengan yang diinginkan masyarakat, dan tindakan polisi tidak lah selalu dikategorikan melanggar HAM dan mungkin didalam situasi tertentu sebaliknya, melindungi kemanusian dari pelaku kejahatan.

Profesionalitas Polisi
Institusi polisi yang diberikan kewenangan dalam menafsirkan hukum sebagaimana hakim yang mengadili perkara yang dihadapkan kepadanya, dalam penggunakan kekuasaan diskresi-fungsional kepolisian dalam bentuk penggunakan kekuatan (power) tidak melebihi batas takaran yang diperbolehkan oleh hukum itu sendiri, sebagaimana yang diatur didalam pasal 31 KUHAP. Hal ini secara internal institusi kepolisian (Bag Paminal) harus melakukan pengawasan yang dikendalikan secara seksama dengan unsur pimpinan kepolisian. Dengan cara diperketat pengawasan internal pada institusi polisi itu sendiri, untuk menghindari polisi dalam penggunaan kekuatan diluar batas proporsinya, yang berimplikasi merugikan masyarakat (publik). Dan dalam beberapa literatur tindakan polisi yang diluar proporsinya disebut juga dengan Police Brutality.
Perilaku polisi yang brutal inilah yang perlu dibenahi oleh Institusi polisi kedalam internal lembaga polisi itu sendiri. Mungkin beberapa kebijakan secara internal kepolisian perlu di keluarkan oleh pimpinan polisi dalam hal pelaksanaan tugas, terutama bagi polisi yang berada dilapangan dengan menggunakan senjata api sebagai alternatif terakhir untuk pertahanan diri dari anggota polisi itu sendiri.
Anggota masyarakat yang harus dilayani polisi dalam tanda kutip, itupun semakin tinggi taraf pemikirannya serta semakin kritis berkat peningkatan pesat dalam teknologi media massa. Informasi sangat cepat tersebar luas melalui jalur media massa, sehingga makin banyak anggota masyarakat yang mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara yang pada gilirannya menyebabkan polisi makin kesulitan untuk melayaninya.
Makin lama masyarakat semakin kritis dengan tugas serta pelayanan yang diberikan oleh polisi, sebagai aparat negara penegak hukum, pelindung dan penganyom masyarakat. Posisi sulit bagi polisi adalah dimana disatu sisi polisi di inginkan masyarakat sebagai mitra untuk membasmi kejahatan itu sendiri bersama sama dengan masyarakat, namun disisi lain polisi juga harus menumpas kejahatan yang terjadi didalam lingkungan masyarakat itu sendiri, dan dimungkinkan pelaku kejahatan itu adalah bahagian dari masyarakat yang akan dilindungi oleh polisi.
Dengan tugas pokok polisi tersebut diatas sebenarnya posisi polisi berada pada posisi yang sulit, menurut Koesparmono Irsan dalam Quo vadis Polisi tahun 1996 mengatakan; pada hakikatnya fungsi setiap polisi dimanapun didunia ini ada tiga yaitu: ketertiban, legalitas dan keadilan (Irsan:1995) di dalam tugas fungsi yang paling dasar inipun sudah mengandung benih konflik-peran. Polisi didalam memerankan fungsinya sebagai penegak hukum atau keadilan ada kalanya polisi menggunakan kekerasan atau pemaksaan, dan mungkin tindakan kekerasan dan pemaksaan itu mungkin menggangu ketertiban, karena memungkinkan adanya pihak lain yang tidak terkait dengan kasus ini akan terlibat atau berpeluang menjadi korban.
Atas perilaku polisi didalam melaksanakan tugasnya tidak dapat kita pungkiri dan tutup mata begitu banyak masyarakat tidak menerima dan menggugat polisi (Publik complain) atas kinerja polisi yang jauh dari profesionalitas sebagaimana diharapkan masyarakat. Untuk itulah institusi polisi kedepan berbenah diri, dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian sesuai dengan prosedur sesuai dengan program tetap (Protap), serta petunjuk pelaksanaan dan petunjuk administrasi (Juklak dan jukminu) Polri sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum positif (UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI).
Kedepan masyarakat sangat mengharapkan kinerja polisi menuju kearah yang lebih baik lagi, menjadi polisi profesional dan proporsional dalam tugas, yang akan menelurkan tindakan polisi produktif, progresif, dengan cara lebih banyak, dengan mangajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam program-program kepolisian dengan pola polmas (pemolisian masyarakat).
Untuk menangani perkara berdimensi baru, institusi polisi perlu melakukan pembenahan secara internal kedalam tubuh polisi itu sendiri. Dengan cara meningkatkan sumber daya manusianya polisi itu sendiri. Khusus dalam menangani perkara Hi-tech, kejahatan kerah putih (white collar crime), pencemaran lingkungan hidup dibuktikan dengan adanya pemanasan global (Global worming) yang sangat merugikan masyarakat dan negara serta lingkungan hidup, yang mengancam bumi tempat kita bernaung sekarang ini.
Menyikapi perkembangan masyarakat yang begitu dinamis mengikuti perkembangan zaman sebagaimana perkembangan teknologi tinggi, dimana jarak menjadi dekat, dunia menjadi kecil, lautan menjadi dangkal, dengan adanya temua-temuan ilmu dan teknologi bagi kemaslahatan manusia hidup didunia ini, disatu sisi perkembangan hukum, khususnya hukum positif selalu statis dan tertinggal jauh dari perkembangan masyarakat yang dinamis tadi, bagaimanapun juga institusi polisi harus mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi tersebut dengan cara melakukan pelatihan terhadap personil polisi, baik secara langsung dengan mengikuti seminar-seminar maupun secara berjangka dengan mengadakan pelatihan-pelatihan untuk mengimbangi segala kejahatan yang mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi tersebut.

Tantangan Polisi kedepan
Perkembangan manusia begitu dinamis, sedangkan perkembangan hukum statis, perkembangan hukum positif tidak bisa mengikuti perkembangan manusia itu sendiri, dibuktikan dengan jauhnya tertinggal aturan hukum positif kita dari perkembangan peradaban manusia sekarang ini, dan ini menjadi salah satu masalah yang dihadapi polisi, dimana polisi diminta untuk profesional sedangkan aturan hukum positif berupa undang-undang yang menjadi dasar bertindaknya polisi belum di revisi seperti KUHP (Lex generalis) begitu juga dengan aturan hukum berupa undang-undang khusus diluar KUHP (lex specialis), Mac Rae mengatakan dalam “The World in 2020” tahun 1994 menyatakan bahwa diabad ke 21 nanti dunia akan menghadapi berbagai hal penting, antara lain; dari negara bangsa ke jaringan (networks), dari pengaturan oleh pemerintah kemekanisme pasar, dari desa-desa ke kota besar, dari padat karya ke teknologi tinggi, dari dominasi pria ke kebangkitan wanita dan lain lain (Susanto,1995 didalam A. Meliala,1996)
Diabad 21 sekarang ini semua hal tersebut telah kita temui, negara seakan-akan tiada batas dengan fasilitas internet yang ada, jarak semakin dekat dengan adanya handpone selular, dan kesemuanya itu mendapatkannya tidak harus dengan uang banyak, tetapi untuk mengoperasikannya tentu perlu ilmu pengetahuan sebagai penunjangnya.
Inti dari semuanya itu adalah telah terjadinya perobahan nilai, norma dan teknologi tinggi (Hi-tec) yang sangat cepat dan pesat sekarang ini, dan polisi juga harus bisa menyesuaikan diri dengan sumber daya manusia polisi dibekali dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi didukung dengan sarana serta prasarana yang ada.
Kejahatan terus berkembang dari bentuk kejahatan konvensional kepada kejahatan kerah putih (white collar crime), yang sudah merajalela dan sudah berurat berakar dari zaman orde-lama dan orde-baru, tetapi setelah zaman reformasi sekarang ini malah kejahatan kerah putih dalam jabatan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya pola pemerintahan dari sentralisasi kepada desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah. Daerah diberi kewenangan untuk mengelola sendiri sumber daya alam yang ada didaerahnya sendiri, didalam penggelolaan SDA daerah tidak mengimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai (skill) maka membuka peluang terjadinya korupsi dalam jabatan, sehingga merugikan keuangan negara.
Inilah salah satu bentuk kejahatan baru yang menjadi tantangan polisi kedepan dengan segenap kewenangan yang dimiliki oleh polisi sebagai penyidik, dan aparat negara penegak hukum dan keadilan, apakah polisi mampu untuk melakukan penindakan terhadap pelaku kejahatan kerah putih yang sudah meraja lela di bumi pertiwi ini?

Rekomendasi
Bagaimanapun juga animo masyarakat masih sangat besar terhadap polisi, walaupun dengan berbagai kekurangan yang dimiliki oleh polisi itu sendiri. Namun demikian polisi juga harus melakukan persiapan diri sejak dini, dengan meningkatkan profesionalitas sumber daya menusia polisi itu sendiri, menjadikan segala kesalahan dimasa lalu menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga, untuk melakukan perubahan dimasa yang akan datang dengan berbenah diri. Menuju kearah yang lebih baik dalam melaksanakan tugas pokok POLRI.










Daftar Pustaka

TB Ronny Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat , sebuah pendekatan kriminologi, hukum dan sosiologi, Jakarta, M2 Print: 2001.

Quo Vadis Polisi/ Adrianus Meliala, Majalah Forum Keadilan,1996


Undang-Undang.

UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kuhap.

UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar