Sabtu, 24 Januari 2009

TINDAK PIDANA PERBANKAN (TIPIBANK)
DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh;
Yudikrismen, S.H., M.H

Abstrak

Perbankan memiliki peran strategis bagi pembangunan bangsa. Karena itu usaha perbankan perlu diberikan dukungan oleh semua pihak. Namun demikian, tidak jarang karena perannya yang strategis tersebut, muncul kejahatan di bidang perbankan. Munculnya kejahatan perbankan diduga sebagai akibat belum optimalnya penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan. Makalah berikut menyimpulkan bahwa memang penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan belum optimal khususnya dalam hal koordinasi antara penegak hukum.


Pendahuluan
Sebagai suatu kepercayaan masyarakat bahwa perbankan memegang peranan penting dalam sistem perekonomian, sehingga perbankan disebut sebagai jantung dari sistem keuangan, dikarenakan bank bekerja menghimpun dana dari masyarakat (individu-individu), badan usaha milik negara maupun badan hukum swasta (perusahaan-perusahaan swasta).
Lembaga perbankan memiliki pula fungsi dan kewenangan menyediakan dana melalui kebijakan pemberian kredit kepada individu ataupun badan usaha yang memerlukan investasi dalam melakukan kegiatan dibidang usaha. Fungsi dan kewenangan perbankan lainya adalah menfasilitasi aliran barang dan jasa dari produsen kepada konsumen serta melakukan aktivitas keuangan untuk kepentingan pemerintah, badan usaha milik negara, perusahaan-perusahaan swasta maupun untuk kepentingan rumah tangga, selain itu perbankan memiliki fungsi dan kewenangan, “mengedarkan uang sebagai alat pembayaran, menerapkan kebijakan uang ketat maupun meningkatkan penyaluran kredit kepada masyarakat luas”
Dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan perbankan tersebut, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dan diterapkan oleh perbankan, supaya terciptanya sistem perbankan yang tangguh, sehat, dinamis, profesional, dan dapat dipertanggung jawabkan, dan perbankan juga harus dapat menerapkan prinsip kehati-hatian (frudential), keuntungan (profibility), dan efisiensi yang diharapkan dapat menjaga kekuatan dan pertumbuhan sistem perbankan nasional kearah yang dicita-citakan.
Memperhatikan peranan lembaga keuangan yang begitu strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional maka perlu senantiasa dilakukan pembinaan dan pengawasan yang efektif, terencana dan terarah secara berkesinambungan yang dilakukan oleh otoritas Bank Indonesia terhadap kinerja manajemen seluruh aktivitas lembaga perbankan, pemerintah, perbankan swasta asing yang beroperasi diseluruh wilayah Indonesia.
Selain memiliki peran yang strategis dalam pembangunan, di sisi lain perbankan juga merupakan salah satu wadah yang sangat rentan bagi terjadi pelbagai kejahatan di bidang perbankan yang dapat menimbulkan kerugian negara. Semakin banyaknya lembaga perbankan yang berkembang di Indonesia serta semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk pelaksanaan pembangunan ekonomi maupun fisik, maka akan semakin besar pula peluang untuk terjadinya kejahatan dibidang perbankan.
Masih terjadinya kejahatan di bidang perbankan tidak terlepas dari tidak optimalnya penegakan hukum oleh sistem peradilan pidana (CJS) khususnya kepolisian, bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas maka perlu di ketengahkan makalah dengan judul “TINDAK PIDANA PERBANKAN (TIPIBANK) DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA”.

Perumusan Masalah
Masalah yang akan dijawab dalam makalah ini adalah bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan di Indonesia?

Pembahasan
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perbankan
Berdasarkan modus operandi serta ciri-ciri pelaku kejahatan dibidang perbankan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan kerah putih (white collar crime) yang dikembangkan oleh Edwin E. Shuterland; 1933 yang menyatakan ; white collar crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang berstatus sosial terhormat dan perbuatan tersebut dilakukan berkaitan dengan aktivitas pekerjaan dalam jabatannya (accupational crime) diantaranya adalah ; “tindak pidana perbankan dapat berupa melakukan pemalsuan surat dalam lalulintas pembayaran (cek, wesel, giro bilyet) mendirikan bank tanpa izin (untuk menghindari pajak), memberikan kredit melampaui batas kemampuan keuangan bank, menggelapkan uang nasabah, membocorkan segala rahasia keuangan nasabah dan lainnya” . Lihat juga Bab VIII tentang Ketentuan pidana dan sanksi administrasi dalam pasal 46 s/d 53 UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan
Selain itu tindak pidana perbankan sering juga terjadi dalam praktek dunia perbankan di Indonesia yaitu terjadinya suatu perbuatan/tindakan pengurus lembaga perbankan pemerintah ataupun yang dilakukan lembaga perbankan swasta nasional, dengan berbagai cara mengubah, menghilangkan dalam pencatatan palsu terhadap kegiatan usaha yang berupa rekayasa setoran modal, rekayasa pemberian kredit, membuat laporan keuangan publikasi palsu, rekayasa pembukuan, permanfaatan bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) untuk kepentingan bank, pemamfaatan dana bank untuk keperluan pribadi penggurus, pengambilan uang bank melalui rekayasa fiktif yang merugikan bank.
Menurut Muhammad Djumhana Tipologi tindak pidana perbankan dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) jenis, baik yang berupa kejahatan maupun dalam bentuk pelanggaran yang sering terjadi dalam praktek adalah; penipuan atau kecurangan dalam bidang perkreditan (credit fraud), penggelapan dana masyarakat (embezzement of public funds), penyelewenagan atau penyalahgunaan dana masyarakat (misappropriation of public funds), pelanggaran terhadap peraturan-peraturan perbankan (violation of curmency regulation), dan pencucian uang (money laundry).
Dalam kaitannya dengan hukum pidana, Prof. Sudarta, SH, sebagaimana dikutip Barda Nawawie Arief , mengemukakan tiga arti tentang kebijakan kriminal yaitu :
1. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
3. dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.



2. Penegakan Hukum Tindak Pidana Perbankan di Indonesia
Penggunaan hukum pidana dalam tindak pidana perbankan memiliki kemampuan yang sangat terbatas, dan untuk mengoptimalkan fungsi hukum pidana tersebut, diperlukan adanya keterpaduan antara kebijakan sosial dan politik kriminal serta keterpaduan antara penggunaan sarana penal dan non penal. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perbankan dalam kenyataannya memang belum berjalan dengan maksimal, meskipun tindak pidana perbankan berjalan terus meningkat dan berkembang, Menurut Barda Nawawie Arief, hal ini disadari dan tidak terlepas dari beberapa hal antara lain;
1. masalah karakteristik tindak pidana perbankan sulit untuk dideteksi secara dini, sementara pelakunya adalah orang-orang yang terdidik (intellek).
2. masalah teoritis hukum pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam penerapannya, dan
3. dari segi sistem masih ditemui permasalahan, baik menyangkut substansi hukum, penegak hukum, fasilitas dan budaya hukum di lingkungan masyarakat perbankan itu sendiri.
Semakin berkembang masyarakat dan akan semakin berkembang pulalah suatu kejahatan, begitu juga dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas transaksi pada perbankan, maka kejahatan akan cenderung mengikuti transaksi perbankan yang maju pesat tersebut, namun demikian kasus-kasus Tipibank yang dapat diselesaikan penegakan hukumnya masih sangat terbatas, karena begitu bervariasinya praktek perbankan, menurut Soerjono Soekanto beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum tipibank, yaitu:
1. faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja,
2. penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum,
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan
5. faktor kebudayaan sebagai hasil karya dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

a. Undang-undang.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penegakan hukum tindak pidana perbankan adalah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi, dengan adanya kelemahan dan kekurangan peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu perbuatan yang dilarang menurut undang-undang yang mempunyai sanksi hukum berupa pidana, maka akan terkendala penegakan hukum dan terdapat banyak kesulitan dalam aplikasi penegakan hukum. Tindak pidana perbankan dengan memakai modus operandi baru akan menjadi suatu kendala dalam penegakan hukum dikarenakan cakupan dalam substansi hukum kejahatan perbankan belum termuat secara keseluruhan dalam undang-undang perbankan yang sudah ada dan harus diikuti dengan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), undang-undang tindak pidana korupsi, dan undang undang tindak pidana pencucian uang (money laundering).
Begitu juga dengan substansi undang undang perbankan no. 7 tahun 1992 yang diperbaharui dengan undang-undang no. 10 tahun 1998 yang menyangkut ketentuan pidana terdapat dalam pasal 48 ayat 2 berbunyi;

“Anggota Dewan komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”

yang mana rumusan pasalnya tidak spesifik yang menjadikan cakupan pasal tersebut tidak jelas tentang batasannya, sehingga terjadi kekaburan yang menimbulkan perdebatan dalam penerapannya.
Selain dari substansi uu perbankan itu sendiri juga mengenai kendala apabila pelaku tindak pidana perbankan (Tipibank) melarikan diri ke luar negeri setelah melakukan kejahatan perbankan di Indonesia, maka akan sulit untuk menjerat pelaku serta melakukan penyitaan terhadap harta benda yang didapatkan dari hasil sebuah kejahatan perbankan yang di lakukan di Indonesia dikarnakan persoalan ekstradiksi (perjanjian ekstradisi) sebagai dalih aparat penegak hukum, seperti dibuatnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura baru-baru ini untuk mengantisipasi supaya pelaku kejahatan yang telah melakukan kejahatan di Indonesia dengan membawa barang hasil kejahatannya kenegara singapura bisa dijerat dengan hukum Indonesia berikut harta hasil dari kejahatannya tersebut.

b. Penegak hukum.
Dalam hal penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana terpatu (SPPT) atau criminal justice system yang terdiri dari penyidik kepolisian, penuntut umum dari pihak kejaksaan, pemutus perkara oleh pihak pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang akan melakukan pembinaan terhadap narapidana yang sudah memiliki keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Mereka adalah aparat penegak hukum yang sangat menentukan, meskipun sebaik dan sesempurna apapun aturan yang dibuat pada akhirnya akan ditentukan oleh orang-orang yang menegakkan aturan tersebut.
Menyangkut hal ini prasyarat yang harus dipenuhi penegak hukum adalah yang menyangkut kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) nya, baik dari segi intelektual maupun dari segi moral aparat penegak hukum itu sendiri, hal itu sangat penting apabila dikaitkan dengan kejahatan perbankan yang selalu menggunakan modus operandi yang baru dalam melakukan kejahatan perbankan, disamping jumlah personil penegak hukum juga diperlukan tenaga ahli (skill) dibidang perbankan. Jika kualitas penegak hukum yang biasa biasa saja dan kurang memadai, maka tentu tidak akan dapat bersaing dengan kecerdikan para tersangka tindak pidana perbankan, yang sebagian besar atau boleh dikatakan dilakukan seluruhnya oleh mereka yang terpelajar (intellektual), terpandang, mempunyai jabatan dan banyak uang.
Penegakan hukum tipibank belum bisa dilaksanakan penerapannya secara optimal, maka perlu dipertanyakan kualitas SDM penegak hukum itu sendiri, kedepan diharapkan masing-masing instansi penegak hukum masing-masing dari penyidik, penuntut umum dan hakim, harus memiliki wawasan yang luas dan mengerti dalam bidang perbankan, untuk dapat meningkatkan kualitas penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) training secara terprogram, terencana, terpadu secara berkelanjutan atau dilakukan latihan bersama denga instansi terkait dalam penanganan perkara tipibank seperti; Bank Indonesia dan PPATK di jakarta.
Juga diperlukan hubungan kerja sama yang baik yang harus selalu terjalin antara aparat penegak hukum dengan pihak Bank Indonesia selaku lembaga pembinaan dan pengawasan yang efektif, terencana dan terarah secara berkesinambungan terhadap kinerja manajemen seluruh aktivitas lembaga perbankan, pemerintah, perbankan swasta asing yang beroperasi diseluruh wilayah Indonesia.
Mungkin juga perlu dilakukan Platform dalam struktur penegak hukum dan dalam beberapa tahun yang lalu disebut juga dengan Mahkejapol (Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian) dan tanggal 16 april (Kompas, 16/4/2004) dilakukan kembali pertemuan pimpinan tertinggi (penegakan) hukum atau summit untuk menyatakan perang terhadap kejahatan.
Namun demikian, Dari aspek moral penegak hukum juga suatu hal yang sangat menentukan sebagaimana dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo ; “Bagaimana mungkin memberantas suap yang menjadi unsur awal korupsi dan penyalahgunaan wewenang (occupational crime) pada aparat penegak hukum, Polisi, jaksa atau Hakim dan penegak hukum lain, dengan mengibaratkan : “bagaimana menyapu halaman sebuah rumah secara bersih kalau sapunya sendiri sebuah sapu kotor”? (pendapata,pen) hal ini perlu dibenahi kembali, mental dan moral aparat penegak hukum yang selalu mempunyai kepentingan (Interest) setiap adanya perkara yang ditangani. Yang berimplikasi kepada tidak tegaknya hukum secara konsisten sehingga tidak memenuhi rasa keadilan dimasyarakat, dan aparat penegak hukum tidak saja harus mengacu kepada hukum positif yang ada (mazhab positivisme) tetapi juga berupaya untuk menemukan hukum baru dalam masyarakat dan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

c. Sarana dan parasarana pendukung.
Seiring dengan perkembangan tekhnologi yang berkembang cukup pesat, maka kegiatan dibidang perbankan juga tidak mau ketinggalan dan mengikuti perkembangan Ilmu dan teknologi informasi (Iptek). Seperti dalam membantu kelancaran transaksi dengan pihak bank dengan nasabah lembaga perbankan menggunakan alat berupa komputerisasi, penggunaan sistem online, penggunaan ATM, fasilitas kartu kredit (credit card) dll. Bagaimanapun juga kejahatan perbankan tidak akan kalah canggihnya dalam melakukan kejahatan perbankan dengan menggunakan modus operandi yang lebih baru lagi. Dan tidak dapat dihindari dalam penegakan hukum perbankan perlu adanya pemenuhan terhadap sarana dan fasilitas yang menunjang terlaksananya tugas dengan baik, serta dukungan dalam bentuk dana operasional maupun peralatan yang dimiliki aparat penegak hukum.

d. Masyarakat.
Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan, yang dianggap baru oleh masyarakat, akan sangat sulit karena masyarakat masih beranggapan dan tidak menerima secara langsung akibat dari perbuatan pidana perbankan tersebut secara nyata didalam kehidupan bermasyarakat. Dan juga sangat sulit menghindari segala intervensi kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dalam perkara dimaksud. Terutama ada intervensi dari pihak partai politik guna kepentingan politik partainya tersebut dan tanpa disadari konfigurasi elit politik lebih mendominasi dalam kasus perbankan, sehingga akses kekuasaan yang dimiliki seringkali melakukan intervensi terhadap kasus yang prosesnya sedang berjalan, sehingga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perbankan.
Dilihat dari kepentingan ekonomi dan secara wajar dalam usaha perbankan sebagai tujuannya, namun akan menjadi suatu kejahatan ketika cara mengaktualisasi kepentingan itu telah melanggar kaidah-kaidah hukum yang terkandung dalam substansi hukum positif, penegakan hukum dengan lemahnya moral aparat penegak hukum dan kuatnya kemampuan ekonomi pelaku kejahatan akan berpengaruh dalam hal proses penegakan hukum bidang perbankan terutama dalam posisi tawar (Bargaining position) yang dapat mempengaruhi jalannya proses penegakan hukum.

e. Budaya
Budaya hukum dalam masyarakat, terutama masyarakat sebagai debitur pada perbankan belum menunjukkan suatu sikap dan bentuk prilaku yang lebih baik dan membanggakan. Beberapa banyak kasus pinjaman bank dengan anggunan fiktif dan sehingga terjadinya kredit macet dan menghambat kinerja dari pada pihak perbankan untuk tumbuh dan berkembang yang berakibat terjadinya kejahatan perbankan yang merugikan Negara dan masyarakat.
Friedman; mengatakan budaya hukum merupakan bagian sistemik dari sistem hukum, budaya hukum dimasukkan kedalam 3 (tiga) bagian yaitu ; struktur hukum, yang meliputi badan ataupun kerangka kerja bentuknya sistem hukum dan yurisdiksinya, substansi hukum meliputi norma-norma ataupun kaidah-kaidah yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga dan budaya hukum meliputi ide, sikap, kepercayaan dan pendapat terhadap hukum.

Penutup
Penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan belum optimal sebagaimana yang diharapkan, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; faktor hukum, faktor masyarakat, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana serta faktor budaya. Dari kelima faktor tersebut faktor yang paling menonjol adalah faktor penegak hukum dimana masih terdapat kurangnya koordinasi antar instansi seperti; Penyidik, Penuntut Umum dan pihak Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional dan swasta nasional serta PPATK sebagai pengawas transaksi keuangan secara langsung, Semestinya koordinasi ini perlu ditingkatkan untuk dapat menekan terjadinya kejahatan di Bidang Perbankan.


Kepustakaan

Arie Sundari, S, Peranan Bank Indonesia Dalam Mencegah Terjadinya Tindak Pidana Perbankan, Alumni: Bandung, 2004.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996

HAK Moch Anwar, Tindak Pidana Dibidang Perbankan, Alumni: Bandung, 1998.

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti: Bandung, 2002.

Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, PT Kompas Media Utama, jakarta , 2006

Soekanto, Soerjono, Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali: Jakarta, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar